Oleh Muhaimin Iqbal
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman yang sangat berharga dari salah satu peserta rutin Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin. Kiriman tersebut adalah berupa buku tua (terbit pertama kali 1963!) - dengan judul Sejarah Pendidikan Islam yang ditulis oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus (almarhum – Ex Rektor IAIN Imam Bonjol – Padang). Yang menarik adalah dari waktu ke waktu, umat ini mengalami pasang surutnya. Umat ini berjaya manakala iman dan ilmu dikuasai, para guru dan pendidik dihargai.
Penghargaan ini tentunya tidak harus berarti uang, tetapi pemberian gaji yang baik kepada mereka dapat menjadi salah satu indikator seberapa baik masyarakat menghargai para guru ini.
Di salah satu jaman kejayaan Islam yang dikenal dengan generasinya Shalahuddin al Ayyubi gaji guru di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah berkisar antara 11 Dinar sampai dengan 40 Dinar sebulan! Inilah jaman ketika Islam menjadi guru dunia, bahkan guru di bidang engineering dan teknologi seperti yang ter-representasi-kan oleh Al-Jazari dengan kitabnya - Kitáb fí ma'rifat al-hiyal al-handasiyya (Buku Pengetahuan Tentang Alat-alat Mekanik yang Cerdas) - yang bahkan untuk jaman modern ini sekalipun tergolong sebagai buku yang canggih.
Saya tahu tidak semua guru mengharapkan balasan materi seperti ini, tetapi masyarakatlah (terwakili oleh wakil-wakil dan pemimpinnya – dan kita semua) yang harus memperhatikan kesejahteraan mereka. Agar mereka bisa fokus pada tugasnya, dan agar suatu bangsa bisa memperoleh orang-orang terbaiknya untuk menjadi guru bagi anak-anak mereka.
Lantas apakah sekarang wajar seandainya kita sekarang meng-appresiasi para guru dengan gaji bulanan antara 11 Dinar sampai 40 Dinar sebulan-nya (saat tulisan ini berarti sekitar Rp 25 juta – Rp 90 juta sebulan !) di jaman ini?
Saya melihat kewajarannya gaji guru di range tersebut. Mengapa? Itu kurang lebih range gaji para manager dan eksekutif perusahaan menengah di Indonesia saat ini. Jadi wajar bukan kalau kita bisa meng-appresiasi guru-guru yang professional setara dengan para manager dan eksekutif professional tersebut? Bahkan para professor di perguruan tinggi, dan guru-guru impor di sekolah-sekolah internasional yang mulai marak di negeri ini sudah melampaui range tersebut.
Saya juga melihat adanya potensi kemampuan masyarakat dan negara untuk meng-appresiasi para guru ini seperti pada masa Shalahuddin tersebut di atas. Yang diperlukan adalah perubahan orientasi layanan, mana yang lebih dipentingkan. Bayangkan dengan perbandingan-perbandingan berikut:
· Kepala cabang bank menengah yang melayani Anda dalam transaksi finansial, mereka sudah berada di range gaji 11 Dinar – 40 Dinar sebulan tersebut. Masak yang mengurusi transaksi yang lebih penting – yaitu transaksi Ilmu – untuk anak-anak kita, yang akan menjadi bekalnya seumur hidup tidak mendapatkan apresiasi yang minimal sama?
· Manajer-manajer perusahaan telekomunikasi, perdagangan, industry dan jasa lainnya juga sudah menikmati range gaji yang layak tersebut. Mengapa tidak untuk para guru anak-anak mereka?
· Wakil-wakil kita di dewan, digaji secara layak untuk pekerjaan dan produk yang sering tidak jelas – mengapa tidak untuk para guru yang pekerjaan dan produknya jelas – yaitu menyiapkan generasi unggulan kedepan – yang akan menentukan maju tidaknya bangsa ini kedepan?
· Dlsb.dlsb.
Meng-apresiasi secara baik untuk para guru tidak berarti harus menjadi beban yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Yang diperlukan hanyalah menggeser fokus, bila selama ini pemerintah dan masyarakat lebih suka membelanjakan anggarannya untuk produk dan jasa yang dapat dilihat atau dinikmati segera – menjadi fokus untuk menyiapkan generasi-generasi yang unggul untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Bayangkan pula dampaknya bila apresiasi terhadap para guru ini bisa diberikan secara semestinya. Potensi-potensi terbaik bangsa ini bisa bertahan menjadi guru, tidak hanya kepincut dengan pekerjaan lainnya seperti kerja di bank, menjadi manajer industry, menjadi anggota dewan dlsb.
Bila masyarakat berhasil menarik orang-orang terbaik dibidangnya untuk menjadi guru, maka disitulah generasi unggulan ini akan lahir. Guru-guru dari kalangan yang terbaik dibidangnya ini selain berbekal ilmu yang cukup, mereka juga akan kreatif , inovatif dan produktif dalam mengembangkan bahan ajar-nya. Hasilnya akan sepertu spiral yang berputar keluar, guru bermutu – materi ajar bermutu – produk anak didik berkwalitas tinggi – generasi unggul – semakin tinggi apresiasinya ke ilmu dan tentu juga guru dst.
Sebaliknya bila guru tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari masyarakat, yang terjadi adalah seperti spiral yang berputar kedalam. Guru tidak diapresiasi semestinya – guru tidak fokus – materi ajar kurang bermutu – prestasi anak didik menurun – kwalitas generasi rendah – apresiasi terhadap guru lebih rendah lagi dst.
Spiral yang berputar kedalam ini antara lain yang kita hadapi sekarang. Produk anak didik dan generasi yang jauh dari sifat keunggulannya, indikasinya antara lain adalah umat yang mayoritas ini diperdaya oleh umat lain yang minoritas dalam bidang ekonomi, politik dan masyalah-masyalah kemasyarakatan lainnya.
Indikasi lemahnya generasi juga bisa kita lihat dari produk anak didik yang telah terjun ke masyarakat : bila menjadi pejabat atau birokrat dia korupsi, bila berpolitik mereka dusta, bila menjadi pedagang mereka curang, bila menjadi hakim mereka tidak berbuat adil, bila menjadi pegawai mereka kurang produktif, bila menjadi pengusaha mereka mengeksploitasi pekerja untuk kepentingan sendiri dan bila menjadi penguasa mereka sewenang-wenang.
Maka situasi seperti ayam dan telur – mana yang harus didahulukan tersebut – harus kita break dan diurutkan lagi dari awal. Kalau saya memilih break ke titik awal tersebut adalah mulai dari para guru. Hidup bapak- ibu Guru!
(EraMuslim)
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman yang sangat berharga dari salah satu peserta rutin Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin. Kiriman tersebut adalah berupa buku tua (terbit pertama kali 1963!) - dengan judul Sejarah Pendidikan Islam yang ditulis oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus (almarhum – Ex Rektor IAIN Imam Bonjol – Padang). Yang menarik adalah dari waktu ke waktu, umat ini mengalami pasang surutnya. Umat ini berjaya manakala iman dan ilmu dikuasai, para guru dan pendidik dihargai.
Penghargaan ini tentunya tidak harus berarti uang, tetapi pemberian gaji yang baik kepada mereka dapat menjadi salah satu indikator seberapa baik masyarakat menghargai para guru ini.
Di salah satu jaman kejayaan Islam yang dikenal dengan generasinya Shalahuddin al Ayyubi gaji guru di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah berkisar antara 11 Dinar sampai dengan 40 Dinar sebulan! Inilah jaman ketika Islam menjadi guru dunia, bahkan guru di bidang engineering dan teknologi seperti yang ter-representasi-kan oleh Al-Jazari dengan kitabnya - Kitáb fí ma'rifat al-hiyal al-handasiyya (Buku Pengetahuan Tentang Alat-alat Mekanik yang Cerdas) - yang bahkan untuk jaman modern ini sekalipun tergolong sebagai buku yang canggih.
Saya tahu tidak semua guru mengharapkan balasan materi seperti ini, tetapi masyarakatlah (terwakili oleh wakil-wakil dan pemimpinnya – dan kita semua) yang harus memperhatikan kesejahteraan mereka. Agar mereka bisa fokus pada tugasnya, dan agar suatu bangsa bisa memperoleh orang-orang terbaiknya untuk menjadi guru bagi anak-anak mereka.
Lantas apakah sekarang wajar seandainya kita sekarang meng-appresiasi para guru dengan gaji bulanan antara 11 Dinar sampai 40 Dinar sebulan-nya (saat tulisan ini berarti sekitar Rp 25 juta – Rp 90 juta sebulan !) di jaman ini?
Saya melihat kewajarannya gaji guru di range tersebut. Mengapa? Itu kurang lebih range gaji para manager dan eksekutif perusahaan menengah di Indonesia saat ini. Jadi wajar bukan kalau kita bisa meng-appresiasi guru-guru yang professional setara dengan para manager dan eksekutif professional tersebut? Bahkan para professor di perguruan tinggi, dan guru-guru impor di sekolah-sekolah internasional yang mulai marak di negeri ini sudah melampaui range tersebut.
Saya juga melihat adanya potensi kemampuan masyarakat dan negara untuk meng-appresiasi para guru ini seperti pada masa Shalahuddin tersebut di atas. Yang diperlukan adalah perubahan orientasi layanan, mana yang lebih dipentingkan. Bayangkan dengan perbandingan-perbandingan berikut:
· Kepala cabang bank menengah yang melayani Anda dalam transaksi finansial, mereka sudah berada di range gaji 11 Dinar – 40 Dinar sebulan tersebut. Masak yang mengurusi transaksi yang lebih penting – yaitu transaksi Ilmu – untuk anak-anak kita, yang akan menjadi bekalnya seumur hidup tidak mendapatkan apresiasi yang minimal sama?
· Manajer-manajer perusahaan telekomunikasi, perdagangan, industry dan jasa lainnya juga sudah menikmati range gaji yang layak tersebut. Mengapa tidak untuk para guru anak-anak mereka?
· Wakil-wakil kita di dewan, digaji secara layak untuk pekerjaan dan produk yang sering tidak jelas – mengapa tidak untuk para guru yang pekerjaan dan produknya jelas – yaitu menyiapkan generasi unggulan kedepan – yang akan menentukan maju tidaknya bangsa ini kedepan?
· Dlsb.dlsb.
Meng-apresiasi secara baik untuk para guru tidak berarti harus menjadi beban yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Yang diperlukan hanyalah menggeser fokus, bila selama ini pemerintah dan masyarakat lebih suka membelanjakan anggarannya untuk produk dan jasa yang dapat dilihat atau dinikmati segera – menjadi fokus untuk menyiapkan generasi-generasi yang unggul untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Bayangkan pula dampaknya bila apresiasi terhadap para guru ini bisa diberikan secara semestinya. Potensi-potensi terbaik bangsa ini bisa bertahan menjadi guru, tidak hanya kepincut dengan pekerjaan lainnya seperti kerja di bank, menjadi manajer industry, menjadi anggota dewan dlsb.
Bila masyarakat berhasil menarik orang-orang terbaik dibidangnya untuk menjadi guru, maka disitulah generasi unggulan ini akan lahir. Guru-guru dari kalangan yang terbaik dibidangnya ini selain berbekal ilmu yang cukup, mereka juga akan kreatif , inovatif dan produktif dalam mengembangkan bahan ajar-nya. Hasilnya akan sepertu spiral yang berputar keluar, guru bermutu – materi ajar bermutu – produk anak didik berkwalitas tinggi – generasi unggul – semakin tinggi apresiasinya ke ilmu dan tentu juga guru dst.
Sebaliknya bila guru tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya dari masyarakat, yang terjadi adalah seperti spiral yang berputar kedalam. Guru tidak diapresiasi semestinya – guru tidak fokus – materi ajar kurang bermutu – prestasi anak didik menurun – kwalitas generasi rendah – apresiasi terhadap guru lebih rendah lagi dst.
Spiral yang berputar kedalam ini antara lain yang kita hadapi sekarang. Produk anak didik dan generasi yang jauh dari sifat keunggulannya, indikasinya antara lain adalah umat yang mayoritas ini diperdaya oleh umat lain yang minoritas dalam bidang ekonomi, politik dan masyalah-masyalah kemasyarakatan lainnya.
Indikasi lemahnya generasi juga bisa kita lihat dari produk anak didik yang telah terjun ke masyarakat : bila menjadi pejabat atau birokrat dia korupsi, bila berpolitik mereka dusta, bila menjadi pedagang mereka curang, bila menjadi hakim mereka tidak berbuat adil, bila menjadi pegawai mereka kurang produktif, bila menjadi pengusaha mereka mengeksploitasi pekerja untuk kepentingan sendiri dan bila menjadi penguasa mereka sewenang-wenang.
Maka situasi seperti ayam dan telur – mana yang harus didahulukan tersebut – harus kita break dan diurutkan lagi dari awal. Kalau saya memilih break ke titik awal tersebut adalah mulai dari para guru. Hidup bapak- ibu Guru!
(EraMuslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar