Selasa, 16 Agustus 2011

BERAWAL DARI MENCARI SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU


SURGA ADA DI MANA?

Syahril Hermansyah, sahabatku di kelas Sekretaris, sudah beberapa kali menagajakku untuk ikut pengajian. Berulang kali ku menolak. Namun karena seringnya ia mengajak, akhirnya aku pun tak enak hati.
Aku ikut dengannya. Aku tidak tahu diajak ke mana naik mobil angkutan. Aku saat itu hanya kenal sejauh Cengkareng, tempat sekolahku. Ternyata Syahril mengajakku ke daerah Kebun Jeruk, yang tidak pernah aku datangi.
Sebuah rumah kontrakan yang ditempati oleh seorang pemuda. Entah ia sendiri atau bersama temannya. Aku dan pemuda teman Syahril itu pun berdialog. Aku suka cara penyampaiannya, layaknya mahasiswa yang  faham ilmu agama. Aku tertarik.
Ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa aku jawab, namun kemudian dijawab dan dijelaskan olehnya yang membuat aku hanya manggut-manggut.
Kala itu aku meminta agar aku bisa ta’lim secara umum sebagaimana ta’lim-ta’lim pada umumnya. Namun katanya: “Seperti bayi, jika langsung disuapi nasi maka ia akan muntah, jadi cukup dialog seperti itu dulu.” Aku pun setuju. Syahril sendiri hanya mendengar dan menyimak, tak banyak bicara. Saat berpamitan pulang, aku katakan bahwa aku tertarik, insya Allah aku akan datang lagi.
Pulang membawa kesan tertarik. Namun ada yang mengganjal di benakku, yaitu pertanyaan pemuda itu yang tidak bisa saya jawab. Pertanyaannya adalah: “Surga ada di mana?”
Jawabku: “Di akherat.”
Ia mengatakan: “Pernah mendengar hadits surga di bawah telapak kaki ibu? (aku mengangguk) Ibu yang mana? Ibu kandung atau ibu tiri?”
Aku bingung. Sebab ada anak yang sejak kecil diasuh dan dibesarkan oleh ibu angkat atau ibu tiri. Namun ia memberi penjelasan bahwa “ibu” yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah “Ummul Kitab”, yaitu Surah Al-Fatihah. Ia pun menjabarkan. Namun rentetan pertanyaan dan jawaban itu begitu mengganjal. Aku tidak terima 100 % tapi tidak bisa membantah.

ITU NII

Keesokannya, pertanyaan dan jawaban yang mengganjal itu aku sampaikan kepada Ust. Drs. Syamsuddin Ahmad, guru agamaku. Pertanyaanku: “Benarkah demikian?” Dan aku ceritakan pula kronologis pertemuan kami di kontrakan Kebun  Jeruk itu.
Alhamdulillah, Ust. Syamsuddin memberikan jawaban yang memuaskan. Namun aku lupa jawaban yang disampaikan Ust. Syamsuddin kepadaku dan Syahril.  Intinya adalah tidak sepaham dengan paham pemuda teman Syahril itu.
Dan satu yang mengejutkan, Ust. Syamsuddin mensinyalir bahwa teman pengajian Syahril adalah anggota gerakan NII (Negara Islam Indonesia). Aku dan Syahril langsung dihadapkan ke Pak Abdurrahman di ruangannya, selaku Guru BP dan juga wali kelas jurusan Akuntansi (kelasku). Pak Abdurrahman adalah sosok yang bijak dan solutif, ia seperti ayah kedua bagi para murid. Setiap aku bermasalah, Pak Abdurrahman tempat pencurahan terbaik. Ternyata pernah ada kakak kelas kami yang terjerat oleh NII, hingga ke tahap urusan pernikahan. 
Selain Ust. Syamsuddin dan Pak Abdurrahman menyampaikan faham jama'ah imamah kepadaku dan Syahril, mereka pun mengundang kami untuk hadir ta'lim di masjid Al Jihad yang sedang dibangun di daerah Kamal.
"Kamal?" Itu daerah rumahku. Tentu aku akan hadir.

TAKUT MATI DULUAN SEBELUM BERBAI'AT
Sebuah masjid masih dalam proses pembangunan, lantainya masih tanah. Banyak yang hadir dengan kaum muslimat yang berpakaian muslimah serba besar dan longgar bersarung kaki. Sopan, sejuk dan cantik, itulah penilaianku. Selain warga Kamal, yang hadir lebih banyak dari Jama'ah Muslimin (Hizbullah) daerah Jakarta Barat. Alhamdulillah sahabatku Syahril ikut hadir. Duduk beralaskan tikar dan terpal. Ada beberapa penceramah, termasuk salah satunya Ust. Syamsuddin Ahmad. Dan satu ustad dari Cileungsi Bogor, jika tidak lupa KH. Abul Hidayat Soeradji. Yang disampaikan adalah sejarah khilafah, sistem kepemimpinan jama'ah imamah, dan bae'at.

"Dan barang siapa mati sedang tidak ada ikatan bai'at pada lehernya, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyyah." (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar, shahih Muslim).

Hadits ini begitu menyerang perasaanku hingga bergejolak. Maut sebentar lagi pun bisa datang menjemputku. Bagaimana jika sepulang ta'lim aku mati, sedang aku belum melaksanakan bai'at? Aku harus bertanya. 
Ketika sholat Zhuhur berjama'ah seusai ta'lim, aku merinding melihat barisan shaff shalat yang begitu rapat dan lurus. Sungguh, aku belum pernah melihat shaff shalat seperti ini sebelumnya. Tapi memang itulah shaff yang benar.
Saat acara makan bersama, aku tanyakan kepada Ust. Syamsuddin; "Apakah bai'at imam hukumnya wajib?"
"Wajib, fardhu 'ain, sama wajibnya seperti melaksanakan shalat."

Setelah berfikir sejenak, aku pun langsung nyatakan ingin berbai'at. Namun aku terkejut, aku diminta berfikir lagi dan diminta memahami dulu ilmu tentang jama'ah imamah. Lalu ditunjuklah Ust. Abdullah Jabir, keturunan Tiong Hua untuk menyantuniku, karena kediaman Ust. Jabir dekat dengan kediamanku.
Setelah memahami ilmu Jama'ah Imamah dari Ust. Jabir, aku pun semakin mantap untuk berbai'at Imarah dan semakin khawatir, takut jika maut menjemputku sebelum aku berbai'at.

INI BUKAN BAI'AT REKAYASA

Keinginan untuk berbai'at pun dilaporkan ke keamiran Jama'ah Muslimin (Hizbullah) di Jakarta Barat. Direncanakan aku berbai'at di Ta'lim Pusat Cileungsi, Bogor. Agak kecewa, mengapa harus menunggu 1 bulan lagi. Ternyata sahabatku Syahril juga ingin berbai'at.
Insya Allah Juni 2000, aku dan Syahril berbai't imarah. Kala itu, banyak yang berbai'at. Bai'at kami diterima oleh Imamul Muslimin melalui tangan (jika tidak salah) Alm. Ust. Saefuddin yang diberi amanat menerima bai'at. Bai'at laki-laki diterima melalui proses satu persatu. Berbeda dengan muslimat yang bisa sekaligus dengan sekali ijab kabul.
Sebelum giliranku, aku melihat seorang lelaki gemuk besar berbai'at. Kulihat tubuh besar itu berguncang keras saat proses bai'atnya. Rupanya ia menangis yang teramat dalam. Beberapa ikhwan yang berbai'at mengalami tahap sampai menangis, tapi tidak semua, termasuk aku dan Syahril. Padahal ketika aku melaksanakan syari'at yang agung itu, aku berusaha sekhidmat mungkin agar bisa menangis, namun tidak. Hanya mataku berkaca-kaca. Dan ketika aku mengucapkan dua kalimat syahadat, aku merasakan ada satu aliran yang menjalar di punggungku naik ke tengkuk. Entah apa itu? Hanya Allah yang tahu. Syahril pun tidak menangis. Dari peristiwa tangisan ini, aku ambil kesimpulan, bahwa syari'at bai'at ini benar-benar syaria'at yang tinggi dan bukan main-main yang menggunakan ilmu setan untuk membuat bisa menangis atau seperti munculnya aliran aneh yang ku rasakan di punggung. Sebab sebelum berbai'at, kami semua ditanya apakah kami punya jimat atau menganut ilmu gaib (ilmu setan). Jika iya, maka tidak akan diterima berbai'at.

Alhamdulillah, hingga saat ini Allah masih mengizinkan ku untuk mengawal khilafah ini. Saat ini amanat besar dan berat kupikul, aku diamanati sebagai mundzir Kamal.

(Kesaksian Pengawal Khilafah Rudi Hendrik)

3 komentar:

  1. ALHAMDULILLAH! Sejauh 10 tahun di jama'ah, telah banyak kebenaran yang Allah tunjukkan yang kian mempertebal keimanan akan benarnya syari'at berjama'ah ini. Kelemahan embrio khilafah ini hanya disebabkan oleh kelemahan manusianya, bukan karena kesalahan syari'atnya. Begitu cepatnya Semakin dekatnya perjuangan dengan Al Aqsha adalah bukti Allah membenarkan langkah Imam dan para Pengawal Khilafah ini. Terlalu banyak jalan yang diluar prediksi nalar sebelumnya yang Allah tunjukkan dalam kebenaran ini. Allahuakbar!

    BalasHapus
  2. Wah benar-benar OK. Jenis artikel yang baru yang tentunya banyak cerita menarik lainnya dari para Pengawal Khilafah. Seperti kisah para muallaf...

    BalasHapus
  3. Dan akan menyusul kisah-kisah sejati lainnya. Insya Allah.

    BalasHapus