Jumat, 19 Agustus 2011

HATI YANG MENGHARU BIRU

Selain belajar di sekolah, aku juga belajar di pondok pesantren salafi, di sana aku selalu mendapat bimbingan khusus dari Ust. Hasyim Halimi yang dengan tekun memberi pelajaran-pelajaran kaidah bahasa arab,
Jurumiyyah dan Amtsilatu Tasyrifiyyah, Tafsir Jalalain, Hadits Arbain, Muhtarul Ahadits dan lain-lain. Aku merasa diistimewakan karena beliau membimbing aku secara khusus, dibimbingnya aku untuk senantiasa berpuasa sunnah senin-kamis, dibangunkannya aku untuk shalat malam dan diharuskannya aku untuk menghafal surat Yasin, surat Tabaraak dll, saat itu aku baru kelas 2 SMP.

Kadang aku menyelinap ikut hadir di tengah-tengah ta'lim untuk bapak-bapak, padahal saat itu aku masih memakai celana pendek. Aku senang bergaul dengan orang-orang tua, dengan mereka aku bisa bertanya dan belajar banyak hal tentang hidup. Kemana-mana aku selalu membawa tasbih dan banyak dzikir kepada Allah dan aku ingat kala itu aku banyak membaca tasbih dan shalawat.

Pada suatu malam aku bermimpi, dalam mimpi itu aku berlari terengah-engah karena aku mendengar ada rombongan kafilah Rasulullah dan para sahabat, dari kejauhan aku melihat Rasulullah dikawal empat sahabatnya; Abu Bakar, Umar, Utsma, dan Ali. Mereka semua mengendarai kuda. Aku berlari mengejar dengan rasa gembira dan suka cita, bercampur perasaan yang mengharu biru. Alhamdulillah aku dapat bertemu dengan kafila mulia itu dan dapat berjabat tangan dengan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Sayang sekali kepada Rasulullah kekasih Allah itu aku hanya dapat melihat tetapi tidak sempat berjabat tangan. Allahuakbar. Walau begiotu aku merasa senang luar biasa, kegembiraan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Di kemudian hari perasaan suka cita, dan hati yang mengharu biru yang sulit aku ungkapkan dengan kata-kata itu muncul kembali dalam perasaanku setelah kurang lebih 7 tahun kemudian, yaitu ketika aku mengikrarkan "bai'at" kepada Waliyul Imam Ustad Saefuddin. Malam itu aku terlambat menghadiri undangan ta'lim yang diselenggarakan di Masjid Ustad Hasyim Halimi. Semua muridnya diundang termasuk aku dan tokoh masyarakat sekitarnya.

Melihat kehadiranku, Ustad Hasyim menyambutku di depan pintu masjid dan membawaku duduk di depan agar bisa berdekatan dengan pembicara tunggal Ustad Saefuddin yang pada waktu itu diamanahi sebagai Waliyul Imam Jama'ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Lampung. Hal yang jarang bahkan tidak pernah ia lakukan. Tetapi aku menolaknya karena aku datang terlambat, maka aku mengambil tempat duduk di samping belakang bersama jama'ah pengajian yang lain. Anehnya, pada saat aku masuk ke masjid ada perasaan semarak dan mengharu biru di hatiku, persis seperti yang aku rasakan ketika bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat. Aku tertegun sejenak, lalu berkata dalam hati, mudah-mudahan dari sini syiar Islam akan terus memancar.

Aku duduk diam merenungi apa yang sedang aku rasakan itu. Kemudian aku mulai mendengarkan uraian demi uraian yang disampaikan oleh Ust. Saefuddin. Intinya bahwa Muslimin harus hidup berjama'ah, berimamah dan melaksanakan bai'at sebagai wujud komitmen dan kesanggupannya melaksanakan syare'at Islam. Hati berkecamuk, banyak hal yang ingin aku tanyakan atau nafsu ingin mendebat. Tetapi nuraniku berkata yang dia katakan benar punya hujjah kuat berdasar dalil, mengapa harus aku debat? Hingga selesai acara aku masih duduk termenung dan hati berkecamuk. Pertarungan akidah dan selera, mana yang harus ku pilih?

Bayangan kesulitan-kesulitan bila aku berbai'at, tetapi jika tidak berarti aku mengingkari syare'at. Akhirnya malam itu aku memutuskan harus berbai'at. Majulah aku menjabat tangan Waliyul Imam, Ust. Saefuddin, untuk menyatakan bai'at yang disaksikan oleh Ust. Hasyim Halimi dan lain-lainnya. Kemudian diikuti oleh beberapa teman dan sebagian murid-muridku yang sejak tadi menunggu keputusanku. Malam itu, bulan Juli 1975 menjadi malam yang bersejarah bagi perjalanan hidupku.

(Kesaksian Ustad Abul Hidayat Saerodjie dalam buku: "BALADA SEORANG DA'I")

8 komentar:

  1. Alhamdulillah! Hingga detik ini, Ustad AHI (kami menyebut Ust. Abul Hidayat) menjadi salah satu Pengawal Khilafah yang begitu perkasa. Apa lagi membaca sepotong perjalanan spiritualnya yang penuh hikmah dan sebagai motivasi bagi para Pengawal Khilafah yang lainnya. Saya menunggu kisah perjalanan da'wahnya di berbagai pulau.

    BalasHapus
  2. BUKU BALADA SEORANG DA'I, BUKU BARU YA? KISAH-KISAH SPIRITUAL PARA DA'I DALAM MENYERU KEPADA TAUHID BERJAMA'AH DARI PERPECAHAN UMMAT, SANGAT DI BUTUHKAN OLEH ORANG-ORANG SEPERTI SAYA, YANG BARU AMAR MA'RUF KECIL-KECILAN.

    BalasHapus
  3. Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan kebenaran Jama'ah harusnya di arsipkan dalam bentuk true story sebagai bahan bakar bagi ummat di akar rumput.

    BalasHapus
  4. Kolonial Belanda telah melarang para ulama menafsirkan dan metaddaburi Al Qur'an. Sehingga syare'at pemersatu Ummat menjadi asing di kemudian hari. Seperti saat ini. Bahkan sistem kemasyarakatan yang dipraktekkan Rasulullah ini justru menjadi momok menakutkan bagi muslimin sendiri. Ironi.

    BalasHapus
  5. Jarang-jarang ada blog isi khilafah. Paling getol kan HTI, tapi ini lain. Isinya beda ama HTI yang ngincar amanat kekuasaan. Gua joinnnn...

    BalasHapus
  6. Kekuasaan jangan diminta, tapi diharapkan untuk kemaslahatan ummat. terlalu sedikit orang selamat dari amanat kekuasaan. Kebanyakan mereka akan tercdebur ke dalam neraka

    BalasHapus
  7. jadi ketua kelas aja mumetnya ngedimin teman pada berisik, apa lagi pemimpin ummat. Bisa stress kalau pemimpinnya orang baik.

    BalasHapus