Kamis, 25 Agustus 2011

MENGAPA KUMENANGIS SEJADI-JADINYA?


AKU JATUH KE JURANG
Namaku Dwi Rambat Lestari. Gadis kampung tak lulus SD yang merantau ke Jakarta. Tinggal di rumah paman yang tak cocok dengan jiwa mudaku, hingga aku memutuskan untuk sewa kost kontrakan bersama teman sekerja. Masa gadis kulalui sebagai buruh pabrik salon speaker dengan teman-teman kerja yang pola hidupnya pergaulan bebas.
Aku yang masih mementingkan penampilan jahiliyyah menerima pacar sembarangan yang kemudian kutahu adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku merasa tak bisa lepas darinya meski hati kecilku ingin. Seakan aku dipelet, karna ada beberapa keganjilan yang dilakukan Arya (nama samaran), pacarku, kepadaku. Hubungan kami berlanjut hingga ke jenjang lamaran. Namun tak lama setelah itu, Arya menghilang, kabarnya ia ditangkap polisi.

Hidupku kian suram. Aku menunggu dalam ketidakjelasan kabar. Tak jarang hariku dihiasi gunjingan, sindiran pahit dan cemoohan dari teman-teman dan keluarga besar pamanku. Dunia serasa gelap, pandangan terbatas, seolah berat dunia kupikul di pundak.  Sholat yang dulu masih kujalankan terputus total. Prustasi menggantung di kepalaku. Begitu suram dan hancur lebur. Seolah tak ada harapan. Aku jatuh ke jurang. Bunuh diri pun terlintas di benak, namun kuingat ayah ibu dan keluarga. Bahkan 2 batang rokok kuhabiskan sebagai pelepas masalah. Namun aku tetap berharap kepada Allah, ada seseorang yang dapat menolong dan menerimaku serta membimbingku ke jalan yang benar.


LADANG BUAH DIPANEN SETAN
Setahun lebih dalam keterombang-ambingan, hingga akhirnya pemuda bernama Rudi muncul sebagai karyawan baru. Ia adalah guru ngaji adikku dan anak-anak pamanku. Tak ku sangka ia mau bekerja sebagai buruh kasar dengan upah hanya Rp 15.000,-/hari. Aku mengagumi sosoknya. Namun aku tahu diri, kondisi pribadiku membuatku berfikir "tak mungkin". Sosoknya pendiam dan anti bersentuhan kulit dengan perempuan. Meski pabrik tak menyediakan tempat khusus untuk sholat, ia tetap istiqomah sholat di mana saja yang ia bisa. Di antara tumpukan debu serbuk kayu, bahkan di atas tumpukan papan yang tinggi. Ia tampil begitu aneh dan asing di antara karyawan pabrik yang 97 % tak sholat.

Suatu hari, Rudi ingin tahu lokasi kost kontrakanku, sehingga kami pulang bersama. Ia menceritakan alasannya bahwa ia senang kepada ibuku yang menurutnya sosok ibu yang sangat sabar dalam mengasuh adikku yang sangat nakal. Di perjalanan terjadi dialog yang kemudian tak pernah kulupa hingga detik ini.

Rudi bertanya, "Bagaimana jika ada seorang laki-laki yang mau menjadi kekasihmu?"
Aku merasa senang dengan pertanyaan itu. Dan kujawab dengan pertanyaan, "Memang ada yang mau?"
"Ada," jawabnya.
Kataku, "Asalkan serius, mau menerimaku apa adanya dan mau membimbingku."
Rudi berkata, "Seandainya aku menjadi kekasihmu?"

Jantungku seketika tersentak, sangat terkejut, namun senang, merasa melayang bahagia. Tidak percaya dengan pernyataan Rudi tersebut. Karna bagiku itu tak mungkin, sangat tak mungkin. Ternyata Rudi sudah mendengar buruknya kisah hidupku. Namun anehnya ia memiliki penilaian yang sangat berbeda dari permasalahan hidupku yang kusikapi dengan pemikiran yang terpenjara oleh kegalauan. Penilaiannya, aku adalah gadis yang sangat sabar, namun "sayang".....

Rudi mengumpamakan aku seperti sebuah ladang buah yang subur dan berbuah lebat dan baik. Tapi sayang, ketika masa panen hasil buah ladang tersebut seluruhnya diambil setan. Kesabaranku ia umpamakan ladang buah yang subur, namun sayang, karna aku tidak sholat, buah kesabaranku selalu diambil oleh setan. Karna itulah ia bersedia hadir di hidupku dan membimbingku.

Secara bertahap namun mendadak aku mulai berjilbab menuruti permintaan Rudi. Membuat heboh sepabrik dan keluarga besar pamanku. Namun kembali Rudi tampil sebagai motivator ulung dalam hidupku, menyiramkan semangat melangkah mengarungi hidup dalam rahmat Allah. Namun hubungan kami ditentang oleh 2 keluarga pamanku dan keluarga besar Rudi. Sosok masa lalukulah yang menjadi faktor penolakan mereka. Banyak hal makar yang coba mereka lakukan untuk merusak hubungan kami. Bahkan ada tetangga paman yang menyebar fitnah keji tentangku kepada keluarga besar Rudi. Banting perabotan dan sandal dibuang pernah dilakukan bibiku terhadap Rudi. Kami sabar.

Karna takut dijerumuskan oleh setan dan karna desakan orang tuaku, kurang dua bulan hubungan kami, kami pun menikah secara apa adanya. Bermodal uang Rp 500.000, tanpa KUA dan pesta perayaan. Hanya beberapa saksi dan walimah secukupnya di kost kontrakan. Rudi menikahiku tanpa didampingi satu pun dari pihak keluarganya. Rudi hanya didampingi oleh Pak Abdurrahman, wali kelasnya dulu yang sudah seperti ayah sendiri. Dengan mahar Rp 100.000,- aku menjadi istri Rudi. Malangnya mahar itu akhirnya hilang dicuri oleh bibiku sendiri.

Meski dalam kondisi yang memprihatinkan, tapi kami memiliki keyakinan akan janji Allah. Yaitu:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang (patut) menikah dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui.” (Al-Nur: 32)

Kami yakin bahwa Allah akan menjamin rizki kami. Kala itu aku berpenghasilan Rp 17.000,-/hari dan Rudi Rp. 16.000,-/hari. Tinggal ngontrak. Kami menikah karna Allah, dan Allah pun Maha Berkuasa. Alhamdulillah semuanya berubah. Keluarga paman tak lagi memusuhi kami, karna mereka memang menyegani Rudi selaku ustadz anak-anak mereka. Keluarga besar Rudi pun dengan ikhlas akhirnya menerimaku sebagai menantunya. Dan hingga detik ini, Allah  pun masih menjamin rizki kami.

AKU MENANGIS SEJADI-JADINYA
Sebelum menikah, terlebih dahulu Rudi memberitahukan bahwa ia memiliki satu dunia yang lain, yaitu hidup berjama'ah, melaksanakan hidup dalam kendali dan pimpinan seorang imam (pemimpin). Yang jika aku menikah dengannya, aku harus ikut dengannya, ikut menetapi jama'ah imamah, pola hidup muslimin yang terpimpin di segala sisi. Aku pun diperkenalkan dengan ilmu syari'at jama'ah imamah, bai'at, khilafah yang sebelumnya tak pernah ku kenal dan tak pernah ku dengar. Aku pun patuh ketika suami memintaku berbai'at, karna aku pun sudah mengerti bahwa itu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.

Saat hamil 2 bulan, aku pun berbai'at ba'da Ta'lim Niyabah Jakarta Barat di Kamal, masjid Al-Jihad. Ustadz Adjie Muslim adalah orang yang diamanati Imamul Muslimin untuk menerima bai'at kala itu. Suamiku duduk tak jauh dariku. Beberapa akhwat yang sudah lama menetapi jama'ah ikut mendampingiku di sisi belakangku.

Sebagaimana biasanya, orang yang hendak berbai'at imarah (pemimpin) ditanya terlebih dahulu untuk memastikan bahwa yang berbai'at tidak di dalam paksaan dan tidak musyrik. Aku jawab pertanyaan dengan tenang. Mulailah aku mengikuti ucapan kalimat janji setia kepada Allah yang dituntun oleh Ust. Adjie Muslim. Kuikuti membaca ta'awudz, lalu basmala.

Namun ketika mulai membaca syahadat, tiba-tiba aku menangis sejadi-jadinya, sangat menangis. Bayangan dosa-dosa masa lalu seketika terlintas kembali. Namun aku tak bisa mengerti, kenapa aku bisa menangis sedemikian dalamnya. Sebelumnya aku tak pernah menangis separah itu.

Melihat hal itu, Ust. Adjie Muslim cepat menyuruh suamiku untuk menenangkanku. Ketika mulai meredah tangisku, "jual beli" dengan Allah (bai'at) pun kulanjutkan, meski dalam sesegukan tangis.

KEANEHAN YANG LAIN
Usai berbai'at imarah (imam), satu hal aneh lagi kurasakan. Ketika keluar masjid, aku merasakan rasa bahagia dan ketenangan yang luar biasa. Mungkin seperti yang Ustadz Abul Hidayat katakan: "mengharu biru". Langkah kakiku begitu ringan, seolah tubuhku seringan kapas. Itu kurasakan hingga sampai ke rumah. Beban dosa masa lalu terasa pergi entah kemana.

Allah Maha Benar dengan firman-Nya:
"Bahwasanya orang-orang yang  berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah . Tangan Allah di atas tangan mereka , maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar" (QS. Al Fath (48): 10).

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah (9): 111).

Dari pelaksanaan syare'at bai'at yang menakjubkan itu, aku dan suami semakin kuat meyakini akan kebenaran "al Jama'ah" yang kami tetapi hingga kini. Dengan berbai'atnya aku, maka aku pun telah berhijrah dari ketersesatan kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya di dalam gembalaan seorang imam (pemimpin).

(Kisah sejati Ummu Tsalji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar