“Hai orang-orang yang beriman, tha’atlah kamu kepada Allah dan tha’atlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akherat. Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik-baiknya penyelesaian.” (QS An Nisaa’: 59).
“ULIL AMRI” menjadi bahasan sulit yang tidak pernah menemui satu pemahaman yang sejalan bagi ummat yang memang telah berkubang dalam perselisihan, karena berselisih memang watak utama dari perpecahan (QS Huud: 118).
Ummat Islam yang anti demokrasi, umumnya tidak menganggap pimpinan-pimpinan di parlemen adalah “Ulil Amri”. Mereka berfaham bahwa pimpinan dalalm millahnya (kelompoknya) adalah Ulil Amri. Berseberangan dengan itu, ummat Islam yang berfaham demokrasi atau berfaham Al Qur’an – As Sunnah plus demokrasi, memahami bahwa pemerintahan yang ada di suatu negara yang ditempatinya adalah Ulil Amri. Jika pemerintah tidak berdasarkan Al Qur’an – As Sunnah, maka dianggaplah mereka Ulil amri yang zhalim atau penguasa yang zhalim, harus tetap tha’at dan bersabar bila dizhalimi. Sehingga mereka melupakan dan mengenyampingkan syari’at kepemimpinan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin, yaitu “Jama’ah Imamah”, sistem kepemimpinan ummat di bawah satu orang pemimpin bagi yang mau tha’at dipimpin.
Benarkah para aparatur negara itu adalah Ulil Amri?
Negara atau Mulkan (kerajaan), bukanlah produksi dari rahim Islam. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah mendirikan atau mendeklarasikan suatu negara atau kerajaan. Beliau menegakkan Islam dengan sistem Jama’ah Imamah semata-mata melaksanakan wahyu (Al Qur’an), tanpa mengenal batas teritorial, karena beliau dan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Khilafah dalam bentuk kerajaan adalah penyimpangan yang dilakukan shahabat Muawiyyah radiyallahu anhu atas izin Allah (Al Hadits). Namun demikian, ia masih menggunakan segala perangkat pendahulunya (Khulafaur Rasyidin), yaitu sistem Jama’ah Imamah. Pemimpin masih disebut khalifah atau amirul mukminin, masih melaksanakan syari’at bai’at, masih ada baitul mal, dan sebagainya yang tetap mencontoh Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin. Ummat masih di bawah satu kepemimpinan hingga tahun 1924. Pada masa mulkan itulah banyak lahir penguasa-penguasa yang zhalim, meski tidak sedikit pula khalifah yang mencapai puncak kejayaan dan keemasan serta termasuk dari pada orang-orang shalih. Dan sistem kekhilafahan pun berakhir dengan diruntuhkannya Mulkan Utsmaniyyah di turki oleh seorang antek Yahudi. Maka terputuslah sistem kepemimpinan ummat Islam. Ummat pun menjadi anak kura-kura yang baru keluar dari penetasan, berjalan tanpa tuntunan seorang Khalifah. Masing-masing berusaha mencari jati dirinya yang pada akhirnya, berdasarkan hawa nafsu lahirlah berbagai komunitas-komunitas kecil ummat dengan ciri dan warna serta pimpinannya masing-masing. Dan definisi “ulil Amri” lahir di masing-masing kelompok/jama’ah.
Fakta keberadaan ummat sekarang adalah mereka terkurung dalam batasan teritorial yang disebut negara yang dijalankan oleh berbagai macam pimpinan pilihan sistem orang-orang kafir, yaitu DEMOKRASI. Meski segolongan millah mencoba menembus batasan teritorial itu. Demokrasi akan melahirkan pemimpin-pemimpin dari berbagai latar belakang, sesuai keinginan suara terbanyak. Dan demokrasi adalah POLITIK. Dan politik bukanlah lahir dari rahim ajaran Islam, melainkan lahir dari negeri dan pemikiran orang-orang musyrik, yaitu Yunani dengan tokoh pencetusnya adalah Aristoteles. Untuk masuk ke dalam ajang demokrasi, seseorang harus berpartai. Dan PARTAI bermula dari Inggris, kaum kafir.
Bila suatu negara mayoritas rakyatnya adalah Muslim, kemungkinan besar pemimpin yang terpilih dari politik demokrasi adalah Muslim. Namun bila rakyatnya mayoritas kafir maka kemungkinan besar pemimpin yang terpilih adalah orang kafir. Namun bisa pula, rakyatnya mayoritas Muslim, namun yang terpilih adalah orang kafir. Apakah pemimpin-pemimpin yang campur aduk (ada Muslim ada kafir) ini dapat dikatakan sebagai Ulil Amri sebagaimana yang dimaksud ayat di atas?
Padahal Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (uaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (musyrik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.” (QS Al maidah: 57).
Meskipun yang terpilih sebagai pemimpin/pemerintah adalah Muslim, namun Muslim tersebut pasti orang berpartai. Dan orang-orang yang berpartai masuk dalam kriteria QS Ar Ruum: 31-32, yaitu menyerupai orang-orang musyrik. Apa lagi mereka tidak berpedoman kepada al Qur’an dan as Sunnah, melainkan berhukum dengan apa yang menjadi hukum dasar negara tersebut. Apakah kriteria seperti ini disebut Ulil Amri?
Sebagian ummat Islam mengaku berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah serta mencontoh para salafush shalih, bahkan mereka sangat tha’at dalam melaksanakan syari’at dan sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keseharian. Namun di sisi lain, mereka menjadikan pemimpin-pemimpin hasil produksi aturan kafir sebagai Ulil Amri dan begitu tha’at kepadanya. Mengaku hanya Al Qur’an -A s Sunnah, tapi seiring itu demokrasi (hukum orang-orang kafir) mereka laksanakan dengan dalih “tha’at kepada Ulil Amri”. Apakah memaksiati Allah dengan mengambil dan memperaktekkan aturan-aturan orang kafir termasuk bentuk tha’at? Jika benar melaksanakan demokrasi bukanlah melaksanakan budaya kafir (Yahudi dan Nashrani), dan itu adalah masuk kategori “tha’at kepada Ulil Amri”, maka itu adalah satu kedustaan yang nyata.
Mentha’ati penguasa (pemimpin) hasil demokrasi dengan dalih melaksanakan perintah Allah adalah bentuk penyelewengan tujuan dari perintah Allah tersebut. Ulil Amri yang dimaksud bukanlah pemimpin yang lahir dari rahim budaya kafir (Yahudi/Nashrani), tapi pemimpin yang sesuai kriteria Allah di dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Beberapa di antaranya, yaitu:
1. Orang beriman (QS Al Maidah: 56).
2. Dari kalangan orang-orang yang beriman/Muslim (QS An Nisaa’: 59), walau pun seorang budak Habsyi (Al Hadits).
3. Berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunnah (QS An Nisaa’: 59).
4. Bukan orang kafir, munafiq atau musyrik (QS Al Maidah: 57).
5. Tidak berpartai/bergolongan (QS Ar Ruum: 31-32).
6. Sistem kepemimpinannya bersistem Jma’ah Imamah (Khilafah): Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang melihat amirnya melaksanakan sesuatu yang ia membencinya maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya tidaklah seseorang itu memisahkan diri dari Al jama’ah walau pun sekedar sejengkal, lalu ia mati kecuali mati laksana kematian jahiliyyah.” (Shahih Bukhari dari ibnu Abbas ra, HR Ad Darimi).
7. Berinisial Imam/Khalifah/Amirul Mukmini/Imamul Muslimin, berdasarkan hadits dan tarekh shahabat dan Khalifah masa mulkan.
8. Periode jabatan seumur hidup (berdasarkan tarekh para Nabi dan para Khalifah).
9. Diangkat dengan syare’at bai’at, bukan dengan metode kafir. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Tetapilah bai’atmu pada yang pertama.”(Shahih Bukhari dari Abu Hurairah ra.)
10. Dan beberapa kriteria lainnya menurut Al Qur’an dan Al Hadits.
Al Qurthubi menyebutkan 7 perkara yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang disebut Ulil Amri:
a) Mencetak dirham dan dinar,
b) Mengurus urusan takaran dan timbangan,
c) Menegakkan hukum,
d) Mangatur hajj (urusan haji),
e) Mengatur hari Jum’at,
f) Mengatur ‘Id (sholat ‘Id),
g) Mengatur jihad.
Jelas, penguasa/Ulil Amri versi demokrasi sangat bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Jika cara Islam telah ditempuh memilih Khalifah (Ulil Amri), kemudian Khalifah itu maksiat/aniaya, itulah yang disebut Ulil Amri yang zhalim. Bila pemerintah negara adalah orang musyrik atau kafir, itu adalah penguasa zhalim tapi bukan masuk kriteria Ulil Amri, seperti kondisi Muslim yang berada di negeri kafir. Dan fakta sekarang menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam suatu negara adalah komersil, suatu profesi yang menghasilkan finansial. Kami (Abu Dzakira) yang masih sangat dhaif, belum menemukan satu pun dalil yang qoth’i yang menghalalkan mengambil hukum-hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya (Al Qur’an dan As Sunnah) (QS Al Maidah: 44,45 dan 47). Namun bila mereka berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tapi berhukum pula pada selainnya (berpolitik dan berdemokrasi), maka ini adalah bentuk pencampuran yang haq dengan yang bathil (QS Al Baqarah: 42).
Pemahaman rancu tentang Ulil Amri menimbulkan perpecahan sehingga ummat pun bergolong-golongan. Dan akhirnya, pelaksana Al Qur’an dan As Sunnah hanya bisa bertaqwa dalam perkara sehari-hari (shalat, puasa, haji, tadarrus, bersiwak, isbal dan lain-lain). Namun mereka sangat mengingkari perkara besar yang menjadi fitrah dari ummat, perkara yang menjadi benteng kokoh kekuatan ummat yang telah dipraktekkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, namun tidak dipraktekkan generasi sesudahnya, yaitu Jama’ah Imamah. Di dalam berjama’ah imamah inilah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan ummatnya melaksanakan Islam (QS Ali imran: 103), yaitu berpegang teguh kepada tali Allah dengan berjama’ah.
Dan keterpecahan inilah yang membuat ummat melaksanakan da’wah dan jihad secara serampangan, hanya dengan keyakinan. Memang tak sepenuhnya salah, tapi tengoklah masa Kenabian, da’wah dan jihad diatur oleh satu orang Rasul, setelahnya satu orang Khalifah. Sebelum Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaksanakan syari’at sholat, shaum, zakat, haji, jihad dan lainnya, terlebih dahulu beliau berjama’ah. Rasul sebagai imam dan para sahabat sebagai makmumnya. Sebagaimana sabdanya, “Aku perintahkan kamu dengan lima perkara sebagaimana Allah telah memerintahkan ku dengan lima perkara itu: Berjama’ah, mendengar, tha’at, hijrah dan jihad fii sabilillah…” (HR Ahmad dari Al Asy’ari ra).
Benarlah wahyu QS Adz Dzariyat: 56).
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Sungguh, KEKHILAFAHAN atau JAMA’AH IMAMAH adalah syari’at wajib, sunnah para Nabi, syari’at yang begitu ditakuti oleh orang-orang kafir. Syari’at ini tidak bertentangan dengan QS Adz Dzariyat: 56. Justeru, menetapi khilafah/Jama’ah Imamah adalah bagian dari beribadah kepada Allah. Selain Jama’ah Imamah (Khilafah), maka sistem kepemimpinan tersebut adalah hukum-hukum di luar Islam. Dan bagian dari pewarnaan dari Yahudi dan Nashrani.
Rancunya memahami definisi “Ulil Amri” inilah yang menjadi salah satu faktor perpecahan tetap terpelihara (baca: YAHUDI DI BALIK PERPECAHAN). Akibatnya, kelompok yang tha’at kepada Ulil Amri versi thogut mengklaim dan memvonis kelompok-kelompok Islam yang mengincar kekuasaan negara sebagai Mu’tazilah (kelompok perebut kekuasaan/pemberontak). Cara-cara Mu’tazilah semacam ini bukan sifat Islam. Islam tidak memerlukan pengambilalihan kekuasaan. Kekuasaan dengan sendirinya akan diberikan oleh Allah Subhana wa Ta’ala (QS An Nuur: 55).
Untuk itu, mari satukan shaff dalam Kekhilafahan yang pertama, Khilafah yang tidak berpolitik dan berdemokrasi, dan di dalam satu Jama’ah Imamah, Jama’ah Muslimin (ahlul haq meski beberapa orang saja), kita mentha’ati Allah dan Rasul-Nya di dalam koordinasi Ulil Amri sesuai pilihan Allah dan Rasul-Nya. Allahu Akbar!
(abudzakira: ABUDZAKIRA BLOG)
DAN INILAH SALAH SATU PENYEBAB KENAPA IDUL FITRI YANG HARUSNYA SHOLAT DI SATU WAKTU BISA SHOLAT DI BEBERAPA HARI YANG BERBEDA.
BalasHapus