Rabu, 13 Juni 2012

RIWAYAT DITETAPINYA KEMBALI JAMA'AH MUSLIMIN (HIZBULLAH) – KHILAAFAH 'ALAA MINHAAJIN NUBUWWAH (2)


Kongres Dunia Islam di Makkah
Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur mengikuti Kongres Islam Sedunia di Hijaz itu dan memberikan laporannya kepada kongres bersama di Surabaya (September 1926). Hamka dalam bukunya "Ayahku", riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama di Sumatera, halaman 153, menjelaskan Kongres di Makkah itu, tulisnya:

"Kongres di Mekkah itu tidak membicarakan Khilafah. Semula Ibnu Saud hendak meminta keputusan dari Dunia Islam bagaimana hendak diperbuat dengan tanah Hejaz, tetapi setelah Jeddah jatuh ke tangannya dan ia menjadi Raja Hejaz, agendanya telah ditukar, yaitu bagaimana membereskan pemerintahan, memakmurkan Hejaz, mengembalikan keamanan, menolong Ibnu Saud membereskan tanah itu.
Muhammad Ali dan Syaukat Ali dari India, bukan main mendongkolnya karena agendanya telah berubah. Kedua penganjur Islam India itu menyangka bahwa yang main di belakang layar Ibnu Saud ialah Inggris. Kalau bukan Inggris yang bermain, bagaimana akan semudah itu dia menjatuhkan Syarif Husein. Ibnu Saud pun menuduh bahwa kedatangan kedua pemimpin itu adalah karena "jarum" Inggris. Bukankah kebesaran dan kenaikan Ibnu Saud di Jazirah yang penting itu membahayakan bagi kedudukan Inggris?" (Hamka, Ayahku: 154-155).
Inggris yang menganggap Ibnu Saud telah berjasa turut mengambil bagian mendukungnya mengalahkan pasukan Utsmaniyah, merestui dan mengakui Pemerintahan Abdul Aziz ibnu Saud di Hijaz (1927) dan dia mengganti nama Hijaz dengan nama keluarganya "Saud" menjadi Mamlakah Arabiyah As Sa'udiyah atau "Saudi Arabia" (diterima 1932). Sejak saat itu berdirilah kerajaan Saudi Arabia dengan rajanya Abdul Aziz ibn Saud. Sedang penguasa Hijaz sebelumnya, Syarif Husein, hidup di pengasingan di Siprus, dan anaknya Raja Ali melindungkan diri ke Irak yang diperintah adiknya, Raja Faisal.(Ayahku: 153; EU.984; Kh.Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan di Indonesia, Al-Ma'arif, Bandung: 570 ). 


Kongres Khilafah di Mesir
Setelah runtuhnya Utsmaniyah Turki yang sering disebut Khilafat Utsmaniyah (dalam bentuk Mulkan/kerajaan) dan diusirnya Khalifah Wahiduddin bergelar Muhammad VI dari Istambul (1922) dan digantikan Khalifah Abdul Majid, tetapi kemudian diusir pula dari Turki oleh Mustafa Kemal Pasya (1924), para ulama Al-Azhar di Kairo, Mesir, berusaha menegakkan kembali Khilafah itu. Sementara itu Abdullah, putra Syarif Husein telah memproklamirkan ayahnya itu menjadi Khalifah ketika Husein berziarah ke Syarqil Ardan, tempat memerintahnya Abdullah. (A.151). Raja Nejed Abdul Aziz ibnu Saud memerangi Raja Hijaz Huesin karena menggunakan gelar Khalifah setelah Sultan Turki berhasil digulingkan, sedangkan persoalan khilafat waktu itu sudah mulai ditolak oleh dunia Islam. (MM.30).
Ketua kongres Ulama-ulama Al- Azhar di bawah pimpinan Syekh Husain Wali, mengundang Dunia Islam menghadapi kongres khalifah di Kairo itu yang dijadwalkan semula Maret 1924 atau akhir dari runtuhnya Khilafat Mulkan Utsmaniyah. Kongres khilafah itu berlangsung selama sepekan dari 1-7 Dzulqa'dah 1344 H (13-19 Mei 1926 M). Pemerintah Mesir tidak campur tangan dalam kongres ini. Utusan-utusan yang hadir antara lain utusan dari Ibnu Saud sebagai peninjau, utusan dari Transyal (Afrika Selatan), dari Polandia dan ketua-ketua Qadi di Quds dan Palestina Syekh Abdul Khalidi, Direktur Urusan Wakaf Irak dan bekas Muftinya Syekh Athailah Al Khathib, India juga mengirimkan utusan, Inayatullah Khan, seorang pegawai tinggi Inggris. Dari Indonesia, hadir dari Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI), yaitu Syekh Abdullah Ahmad (Padang) dn Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dari Padang Panjang.
Seperti juga Kongres di Hijaz, hasil yang dapat dipegang dari Kongres khilafah di Mesir boleh dikatakan tidak ada. Setelah soal Khilafat diselidiki dengan seksama, rupanya belumlah masanya buat membangunnya kembali. Demikian tulis Hamka dalam bukunya "Ayahku", riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama di Sumatera, halaman 156.
The Shorter Encyclopaedia of Islam, halaman 239 menyebutkan: "The resolutions of this first Caliphate Congress were in the main negative. Although it was recogniezed that the Islamic Caliphate is capable of realization, nothing more was decided than an appeal to all the Muslims of the world to work together for the establishment of the Caliphate. As such a cooperation came never to be realized, the matter has remained unsolved since then, for which on the whole the nationalistic tendencies in the Islamic countries may be held responsible. Even such a powerful ruler as Ibn Sa'ud has never shown aspiration to assume the highest dignity in Islam and an occasional attempt to proclaim the King of Egypt as Caliph met with no response." (H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, The Shorter Encyclopaedia of Islam, E. J. Brill 1953: 239).
Kongres Khilafah pertama ini tidak membuahkan hasil. Walaupun Ke-khilafahan Islam itu dapat diwujudkan, tidak ada keputusan yang diambil dalam kongres selain seruan kepada kaum Muslmin untuk bekerjasama menegakkan Khilafah. Tetapi kerja sama seperti itu tidak pernah dilakukan. Semenjak itu masalah khilafah itu tidak terpecahkan (terbengkalai). Kecenderungan pada kenasionalan dalam negeri-negeri Islam itu mungkin menjadi penyebabnya. Bahkan Ibnu Saud yang memiliki pemerintahan yang kuat, tidak pernah memperlihatkan keinginan untuk menegakkan kekhilafahan yang sangat vital di dalam Islam, dan usaha untuk menjadikan raja Mesir sebagai khalifah pun tidak mendapat tanggapan.

P.S.I.I.
Setelah beberapa tahun berdiam diri Komite Al Islam dihidupkan kembali oleh Sarekat Islam yang telah berganti nama dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (P.S.I.I.) awal 1929 dalam kongres pada 1931. Di samping menyangkut Islam dan Ummat Islam, dibicarakan soal Palestina dan aksi Italia di Tripoli yang merugikan kepentingan-kepentingan Muslimin. Tahun-tahun berikutnya MAIHS tidak memperlihatkan banyak kegiatan. Komite Al Islam seakan-akan mati dalam kesunyian. Kemudian atas anjuran pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (didirikan oleh para kyai di Surabaya pada Desember 1926) didirikan Majelis Islam A'la Indonesia, lengkapnya Majelis Ul Islam il A'la Indonesia (MIAI) atau disebut Majelis Islam Luhur (September 1937). (EU.578-579).
Adapun para pemuka dan pemimpin Muslim yang berjuang untuk Agama Islam dan kemerdekaan Indonesia dalam PSII selain Tokroaminoto dll., adalah Haji Agus Salim, Muhammad Rum, Sangaji, Sabirin, Syamsuddin, Notopuroyo, Tjokroprawiro (pembangun kembali Sarekat Islam dan ketua komite pasukan Kanjeng Nabi Mumahammad untuk keresidenan Bayumas, dan Purbolinggo), Wali Al-Fattaah, K.H. Mas Mansur, Syaikh Muhammad Ma'sum, Sukiman Wiryosanjoyo, Wiwoho, Farid Ma'ruf, Ust. Gaffar Ismail, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Abikusno Tjokrosuyoso, Suryopranoto, dll. 


Perpecahan
Keluar, nama Sarekat Islam mentereng dan dikhawatirkan oleh Belanda. Sarekat Islam memiliki lebih satu juta anggota di seluruh Indonesia. Belanda sendiri secara khusus sangat memperhatikan perkembangan ini dan menerapkan ajaran Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje dengan politik Islam Hindia Belandanya menindas perjuangan pergerakan Muslimin ke arah kemerdekaan Indonesia. Tetapi di bagian dalam, terdapat keretakan. Pemimpin-pemimpin Sarekat Islam sering tidak sepaham dan sependapat, seperti tentang azas, non-kooperasi (tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah) dan kooperasi (bekerja sama dengan pemerintah penjajah) sehingga menimbulkan bentrok intern dan perpecahan.
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim lebih menekankan kepada azas agama, sedangkan golongan Sukiman-Suryopranoto lebih menitik-beratkan kepada azas kebangsaan. Golongan terakhir ini setelah dipecat (akhir 1932) mendirikan partai baru, Partai Islam Indonesia, disingkat PARII, di Yogyakarta (Mei1933). (EU.978).
Setelah Tjokroaminoto wafat pada 10 Ramadhan 1335 H. bertepatan dengan17 Desember 1934 M., kongres kilat berlangsung di Malang (Agustus 1935) membicarakan soal non-kooperasi dan kooperasi. Pimpinan PSII cenderung pada non-koperasi, tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Golongan yang hendak menempuh jalan kooperasi membentuk panitia oposisi dengan nama Barisan Penyadar PSII (November 1936). Kedua pihak, PSII dan panitia Penyadar PSII mengadakan rapat penjelasan. Penyadar dipecat oleh pimpinan PSII. Sebanyak 29 tokoh terkemuka, di antaranya H. Agus Salim, Muh. Rum, Sangaji, Sabirin, Syamsudin dan Notopuroyo, keluar. Akibatnya Barisan Penyadar PSII berdiri sebagai partai baru di bawah pimpinan H. Agus Salim dan Sangaji. (EU.978).
Pada 17 September 1937 PSII bersatu kembali dengan Dr. Sukiman, Wali Al Fatah, K.H. Mas Manshur, dan lain-lain. Tetapi perdamaian yang telah dibuat dengan golongan Yogya (Dr. Sukiman, Wali Al Fattaah, K.H. Mas Manshur, dll.) tidak lama umurnya. Masalahnya menyangkut ketidak- sepahaman tentang "Politik Hijrah" yang diketengahkan oleh Ketua Muda Dewan Partai PSII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo dalam kongres PSII ke-24 di Surabaya (Agustus 1938), dan disiplin partai yang dijatuhkan pada Muhammadiyah. Menurut Kartosuwiryo, hijrah dalam artian politik ialah memisahkan diri dari politik kolonialisme dalam bentuk dan sifat yang bagaimanapun juga. Hijrah terhadap penjajahan asing dan di samping itu membangun ummat hijrah, terpisah dari masyarakat yang kotor oleh kuman-kuman penjajahan. Ummat hijrah hendak membentuk kekuatan yang hebat menuju Darul Islam. Golongan hijrah ini tetap bergerak dalam tubuh P.S.I.I. hingga melemahkan persatuan. (EU:878). Golongan Yogya berpendapat bahwa hijrah tidak boleh dijadikan asas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan (SPRI.131). Golongan Yogya (Sukiman, Wali Al-Fatah, K.H.M. Mansur dll.) menyampaikan surat kepada pengurus besar PSII yang berisi pernyataan bahwa mereka akan tetap menyertai partai jika PSII: (a) melepas asas hijrah; (b) semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain); (c) mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai terhadap Muhammadiyah. PSII membalas surat itu dengan menolak permintaan itu; hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah itu, mungkin akan dapat dibicarakan lagi. (SPRI.131). Maka Sukiman, Wali Al-Fatah, K.H.M. Mansur keluar dari PSII dan mendirikan P.I.I. (Partai Islam Indonesia) di Solo pada awal Desember 1938. Penggeraknya terutama adalah Dr. Sukiman, Wali Al-Fattah ditambah tokoh-tokoh dari Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond. (K.H. Mas Manshur adalah tokoh Muhammadiyah dan pada Desember 1938 ketua Muhammadiyah).(EU.663; (AK.Pringgo-digdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (SPRI):131. MM.35). Ketua yang mula-mula dari pengurus besar P.I.I. ialah R.M. Wiwoho (anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). P.I.I. melebarkan sayap di Jawa, Sumatera dan Borneo dan memiliki 115 cabang. Dalam kongres 11 April 1940, PII menetapkan program, (a) mengadakan sebuah negara kesatuan Indonesia diperintah oleh suatu pemerintah pusat, pembentukan Majelis Agama dll. Pengurus besarnya terdiri atas Dr. Sukiman, sebagai ketua, K.B. Hadikusumo, Wali Al-Fatta
ah (Sekretaris Umum), Faried Ma'ruf, H.A. Hamid, Dr. Kartono, A. Kahar Muzakir, Mr. Kasmat, sedang K.H.M. Mansur jadi penasehat partai itu. (SPRI.133).
Dalam pada itu P.S.I.I. dalam kongresnya di Palembang (Januari 1940) memutuskan memecat Kartosuwiryo yang terus melancarkan aksi hijrah dalam partai, hal yang tidak disetujui pimpinan partai. Delapan cabang partai pendukung Kartosuwiryo dikeluarkan. Pemecatan ini ditanggapi Kartosuwiryo dengan membentuk PSII (saingan) di dalam badan PSII yang dinamakan Komite Pembela Kebenaran PSII dengan Kartosuwiryo sebagai ketua lajnah tanfidhiyah (saingan). Waktu diadakan rapat umum di Malangbong, Garut (Maret 1940) partai saingan ini mempunyai 21 cabang. (EU.979).
Dengan diumumkannya keadaan bahaya perang (Staat van Beleg) oleh pemerintah Belanda (10 Mei 1940) maka tidak ada kesempatan dan waktu lagi bagi kedua pihak untuk mengadu dan mengembangkan politik mereka secara terbuka. Waktu Jepang mendarat di Jawa (Maret 1942) PSII berpecah menjadi: PSII Abikusno, PSII Kartosuwiryo dan PII Sukiman-Wiwoho dll. (EU.978-979).

H i z b u l l a h
Setelah mengamati keadaan Ummat Islam dan para pemukanya yang sering berpecah belah karena perbedaan prinsip dan politik yang tajam, Wali Al-Fattaah, berusaha mencari jalan keluar bagi penyatuan Ummat Islam yang kokoh kuat dan tidak berpecah belah seperti yang dialaminya dan para pemuka serta tokoh-tokoh Muslim lainnya dalam PSII.
Sebagai kaum pergerakan dan wartawan Muslim, yang memiliki intelegensia yang kuat dan pandangan jauh ke depan, ia menelaah pergerakan Islam di Indonesia dan cara bagaimana menyatukan ummat menurut Islam dalam beribadah kepada ALLAH Subhanahu wa Ta'ala. Karena apa yang dilihatnya dalam sistem kepartaian yang diikutinya secara aktif dan sebagai propogandisnya bersama Ustadz Gaffar Ismail, Syaikh Muhammad Ma'sum, K.H. Mas Mansur dll., organisasi massa politik sering berpecah belah, tidak satu. Sekarang bisa akur, besok berpecah belah, bersatu lagi, pecah belah lagi. Ia tidak menemukan jalannya meskipun sebagai intelektual dalam PSII. dan PII telah mengetahui perihal Khilafah itu.
Dalam kancah Perang Dunia II (1939-1945 M), pada saat-saat akhir sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia, Wali Al-Fattaah, Hadimus-Sunnah (ahli hadits) Syaikh Mohammad Ma'sum, Al-Ustad Abdul Djabar, Ustadz Mohd. Djauzi, Ustadz Soebadi dan Mohammad Ma'sum, mengadakan pertemuan silaturrahim di kediaman Ustadz Abdul Djabar, Mudir Madrasah Mu'allimin wal Fajri, di Karangkajen, Yogyakarta. Sebagai kaum pergerakan Islam yang berjuang bagi kemerdekan Indonesia, perhatian mereka tidak lepas dari situasi dan kondisi Perang Dunia II dan kekhawatiran Belanda menghadapi serangan Jepang. Pergerakan kaum Muslimin harus terus bergerak bagi penyatuan Muslimin dalam perjuangan meskipun Belanda telah mengumumkan keadaan perang (10 Mei 1940) dan mengeluarkan perintah untuk membekukan segala kegiatan perjuangan rakyat terutama dalam bidang politik, termasuk juga larangan untuk mengadakan rapat-rapat ataupun pertemuan-pertemuan.
"Dalam kancah Perang Dunia Kedua, pada saat-saat akir sejarah kolonialisme Belanda akantutup itulah kalimat "HIZBULLAH" untuk pertama kalinya kami dengar melewati lisan Syeikh Mohammad Ma'sum al-Yogyawi (Ahli Hadits) dalam suatu pertemuan Silaturrahmi di kediaman Ustadz Abdul Djabar yang waktu itu beliau menjabat sebagai Direktur Madrasah Muallimin wal Fajri di Karangkajen, Yogyakarta. Kami imani – firman ALLAH yang menyebutkan Hizbullah didalam Al-Qur'an Surah Al-Maidah ayat 55-56 dan Al-Mujadah ayat 22 --, kemudian sekuasa kami maksud-maksudnya kami amalkan. Selain kami bertiga, ada pula ikhwan lain, di antaranya ialah: Utadz Mohammad Djauzi (penerjemah Al-Qur'anul Karim ke dalam bahasa Jawa), Ustadz Soebadi dan Mohammad Ma'sum, seorang awam biasa tetapi sangat gigih dalam perjuangan untuk Agama Islam. Selain kami berdua dengan Ustadz Soebadi itu, tidak ada lagi beliau-beliau itu berada di tengah-tengah kita. Beliau itu Insya ALLAH dalam Jihad fii Sabilillah telah lebih dahulu mendahului kita pulang ke hadirat ALLAH Subhanahu wa Ta'ala, semoga dengan ridho-Nya. Amin," kata Wali Al-Fattaah (Risalah Al-Jama'ah, No.4 Th. Ke I, 30 Rajab 1394 H/18 Agustus 1974 M).
Setelah menela'ah maknanya yang terkandung dalam firman ALLAH Ta'ala dalam surah tersebut, mereka sepakat untuk mewujud Hizbullah, yaitu kaum yang berpihak kepada ALLAH yang menjadikan ALLAH dan Rasul-Nya sebagai pimpinan tertinggi yang wajib ditha'ati dengan segenap keikhlasan hati, dan berjuang di jalan ALLAH. Maka sejak saat itu mereka menamakan dirinya sebagai Hizbullah. "Kalimat "HIZBULLAH" yang untuk pertma kalinya kami dengar di Karangkajen, Yogyakarta, itu, pada waktu itu baru diberikan maknanya saja secara ringkas, yaitu "Suatu golongan yang berpihak kepada ALLAH". Yang dimaksud yalah kami kami itulah yang pada waktu itu sedang berkumpul membuat pertemuan Silaturrahmi di kediaman almarhum Ustadz Abdul Djabar." Sekiranya pertemuan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian Belanda kemudian digrebeg, karena disangka atau dianggap melanggar peraturan yang melarang orang membuat rapat atau pertemuan-pertemuan (vargader verbot) walaupun pertemuan pengajian yang termasuk tugas Agama, sudah pula disediakan akan jawabnya. "Alhamdulillah,selama itu, pada saat-saat kolonialisme Belanda mengakhiri sejarahnya di Indonesia, "HIZBULLAH" yang disepakati adanya di Karangkajen, Yogyakarta tersebut tidak mendapat kesulitan sesuatu apa, peraturan larangan mengadakan rapat atau pertemuan-pertemuan oleh pihak Belanda, tetap ada, akan tetapi "HIZBULLAH" pun secra routine karena ALLAH dan bagi-Nya pla terus mengadakan rapat dan pertemuan-pertemuan yang siat serta isinya adalah pengajian-pengajian." (Wali Al Fattaah, Latar Belakang Sejarah "HIZBULLAH", Al-Jama'ah, No.4 Th.ke I, 30 Rajab 1394H/18 Ag.1974:3-4). Demikian keterangan Wali Al Fattaah, yang pada tahun 1941 menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Wartawan Muslim Indonesia (Warmusi) berpusat di Yogyakarta dibantu oleh para anggotanya seperti H. Abdulkahar Muzakir, Hadisiswoyo (Solo), A. Muchlis (M.Natsir-Bandung), Hamka, Zainal Abidin Ahmad dan M. Yunan Nasution (Medan). (Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution, Pustaka Panjimas, 1985 Jakarta: 117), dan Sekretaris Umum Partai Islam Indonesia (P.I.I./1938-1941). Syeikh Mohammad Ma'sum pada waktu itu berada dalam P.S.I.I. Boleh dikata, Hadimus Sunnah atau ahli hadits itu guru Agama Islam Wali Al-Fattaah. Ke duanya sudah bersahabat sejak 1930 Wali Al Fattaah pindah ke Yogyakarta setelah keluar dari tahanan Belanda (4 bulan) di Semarang (1929) ketika ia menjadi wakil redaktur "Medan Doenia". Binadjar, seorang guru di Tambak, Banyumas, Jawa Tengah, mengatakan, "Akibat tulisan beliau (Wali Al-Fattaah) dalam suratkabar yang dipandang oleh Belanda sangat tajam dan membahaya-kan, maka beliau akhirnya ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan di Semarang lebih kurang empat (4) bulan" (Binadjar, Sekitar Riwayat Hidup R. Wali Al Fattah yang diceritakan kepada kami: Tbk/18/1-/Ny. Wali Al Fattaah tg 15 Mei 1981). 


http://abuazi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar