Shalahuddin Al Ayyubi (2) Lahirnya Sang Pahlawan
Jatuhnya
kota suci Baitul Maqdis ke tangan pasukan salib seperti halilintar yang
menyambar para pemimpin Islam. Kota suci yang telah 500 tahun berada
dalam naungan Islam, kini terampas. Dengan ribuan korban menjadi tumbal.
Darah-darah yang menggenangi sudut-sudut kota, seakan tak hendak hilang
aroma anyirnya. Hari itu, Jerussalem benar-benar tumpas.
Maka
berkumpullah para ulama dan khalifah seluruh jazirah Arab. Mereka tak
menyangka Jerussalem jatuh ke tangan pasukan salib. Kemudian
terkumpullah beberapa kalifah negara Islam yang bersedia menyatukan
kekuatan untuk merebut kembali Baitul Maqdis.
Singkat cerita,
setelah 40 tahun pasukan salib menduduki kota suci, Baitul Maqdis,
lahirlah seorang bocah yang diberi nama Shalahuddin Al Ayyubi. Ayahnya,
seorang pahlawan kota Syria, Najmuddin Ayyub. Shalahuddin yang lahir
tahun 1138 itu mempunyai seorang paman, panglima perang kerajaan Syria,
Asasuddin Syirkuh. Dari kedua orang itulah Shalahuddin mendapat
gemblengan. Ayahnya dengan tegas mengajarkan agama, sedangkan pamannya
dengan keras mendidiknya dalam ilmu keprajuritan.
Pada usianya
yang masih belia, Shalahuddin kerap kali ikut turun ke kancah laga
menemani pamannya. Pada tahun 1154, Panglima Asasuddin dan tentaranya
berhasil merebut Damsyik yang kala itu dikuasai oleh pasukan salib. Kala
itu, Shalahuddin masih berusia 16 tahun. Tapi ia sudah memanggul pedang
dan senjata turun ke medan laga menegakkan daulat pemerintahan Islam.
Karirnya
sebagai prajurit kian hari kian mantap. Saat usianya menginjak 25 tahun,
bersama pamannya ia menaklukan dinasti Fatimiyah di Mesir. Daulat
Fatimiyah yang beraliran Syi'ah itu tunduk. Nama Asasuddin Syirkuh,
paman Shalahuddin pun kian melambung sebagai pahlawan kebanggaan.
Ternyata di
mana-mana orang sakit hati dan iri selalu ada. Kedudukan dan kemenangan
yang diraih Asasuddin membuat seorang pembesar kerajaan Syria, Wazir
Shawar sakit hati. Ia tak rela Syirkuh menjadi besar dan berpengaruh.
Maka dengan diam-diam ia mendekati pasukan salib dan meminta bantuan
pada penguasanya kala itu, King Almeric. Dan terjadilah pertempuran
besar antara pasukan salib dengan pasukan Asasuddin.
Tapi sayang, karena pasukan salib berjumlah sangat besar, Asasuddin dan shalahuddin pun dapat di kalahkan.
Setelah
menerima syarat-syarat perdamaian dari pasukan salib, Asasuddin dan
Shalahuddin pun diusir ke Damsyik. Mendengar persekongkolan yang
terjadi, raja Syria, Emir Nuruddin Zanki marah besar pada sang Wazir.
Dengan kekuatan gabungan para khalifah Islam mengirimkan pasukan untuk
dipimpin kembali oleh Asa-suddin dan Shalahuddin. Hukuman untuk
pengkhiatan akan dijatuhkan.
Kali ini
pasukan salib di bawah komando King Almeric berhasil dikalahkan. Shawar
yang hanya mempunyai sedikit pasukan pun bisa ditaklukkan. Mereka
terusir dari tanah Mesir tanpa muka alias dipermalukan.
Kelak, suatu
hari ketika Shalahuddin melakukan ziarah, dalam perjalanannya ia bertemu
dengan wazir pengkhianat Shawar. Tawanan dibawa kembali untuk diadili
dan dijatuhi hukuman. Setelah itu, khalifah Al Adhid mengangkat
Shalahuddin sebagai panglima perang menggantikan pamannya. Sedangkan
Asasuddin Syirkuh menduduki jabatan menjadi Wazir Besar, Perdana
Menteri.
Tak lama
setelah pelantikannya, Shalahuddin melakukan razia besar-besaran. Ia
melakukan perjalanan militer mengamankan jalur sepanjang tepian Sungai
Nil sampai daerah utara, Assuan. Sedangkan pamannya segera melakukan
pembersihan kabinet dari aksi-aksi KKN besar-besaran.
Pada tahun 1171
terjadi peralihan pemerintahan besar-besaran, dari daulat Fatimiyah
pada daulat Abassiah. Tapi berkat kepiawaian Shalahuddin tidak terjadi
pertumpahan darah atau kericuhan besar. Semua berjalan dengan tenang dan
aman. Pada tahun itu pula Shalahuddin meresmikan Universitas Al Azhar
yang sebelumnya dijadikan tempat kajian kaum Syi'ah menjadi pusat ilmu
Ahlul Sunnah.
Pada
tahun-tahun pertamanya memegang jabatan sebagai panglima, Shalahuddin Al
Ayyubi sekali lagi membuktikan kualitas kepemimpinannya. Selain gagah
perkasa di medan laga, ia adalah seorang laki-laki lembut hati dan
penyabar dalam kehidupannya sehari-hari. Ia punya kesetiaan yang tinggi
dan sangat bersahaja hidupnya. Gemerlap kekayaan dunia tak menyilaukan
pandangannya.
Dari tahun ke
tahun, sebagai panglima, ia selalu berusaha menghalau pasukan salib yang
akan mencaplok wilayahnya. Selain itu ia juga selalu berusaha
menyatukan kekuasaan dan kekuatan khalifah-khalifah Islam lainnya.
Setiap kakinya melangkah ia selalu menyerukan, bahwa umat Islam harus
bersatu menghan-curkan kebathilan. Mesir yang saat itu di bawah
kekuasaanya menjadi daerah yang benar-benar makmur dan adil.
Pada tahun
1173, Sultan Nuruddin Zanki wafat, dan digantikan oleh anaknya yang baru
berusia 11 tahun. Banyak para ulama saat itu meminta Shalahuddin
memangku jabatan khalifah untuk sementara. Usulan itu dilontarkan,
karena selain masih muda khalifah baru itu juga belum punya wawasan yang
cukup untuk memimpin bangsanya. Tapi Shalahuddin tidak menerimanya, ia
lebih memilih untuk mendukung dan membantu khalifah muda itu saja.
Khalifah Ismail
yang masih muda, ternyata tidaklah lama memangku jabatannya. Ia wafat
dan tampuk kekuasaan beralih pada Shalahuddin Al Ayyubi. Pada masa
pemerintahannya inilah Islam benar-benar mengalami masa kejayaan.
Pasukan salib yang semula sangat berbangga diri, kini mulai
mengukur-ukur kekuatan untuk menghadapi Shalahuddin. Mau tidak mau
pasukan salib merasa gentar juga, karena kekuatan Islam di jazirah Arab
dapat dipersatukan oleh Shalahuddin. An Nubah, Sudan, Yaman, Hijaz
bahkan sampai Afrika pun telah bersatu.
Dengan kekuatan
yang telah dihimpunnya, dan setelah melakukan beberapa perundingan,
Shalahuddin memutuskan untuk merebut kembali kota suci Baitul Maqdis.
Strategi awal
yang diterapkan oleh Shalahuddin adalah mengajak pasukan salib untuk
berdamai. Tapi dasar pasukan salib, bak pepatah dikasih hati meminta
jantung. Tawaran damai yang diulurkan Shalahuddin dianggap sebagai tanda
kekalahan pasukan Islam.
Mereka akan melakukan pengkhianatan perjanjian damai yang telah disepakati.
Ternyata,
Shalahuddin telah mencium isyarat-isyarat pengkhiatan mereka. Justru
itulah langkah kedua yang sudah direncanakan, ketika pasukan salib
mengkhianati perjanjian, maka Shalahuddin punya alasan untuk memerangi
mereka. Dan betul saja, tak menunggu waktu lama kaum salib melakukan
pelanggaran.
Dengan kekuatan
penuh Shalahuddin mencoba mengancam pasukan salib yang melanggar. Tapi
dengan kekuatan penuh pula pasukan salib menantang. Peperangan terbuka
tak bisa dihindari, pedang lawan pedang, darah bercucuran.
Shalahuddin Al
Ayyubi turun ke medan laga dengan gagah berani menerjang lawan. Tapi
sayang pasukan Shalahuddin kocar-kacir berantakan. Ia kalah, serangan
pertamanya ke Baitul Maqdis mengalami kegagalan. Bahkan Shalahuddin
sendiri nyaris tertawan musuh karena kekalahan itu.
Di saat yang
seperti itu, ada sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Di tengah
terjadinya kancah peperangan antara pasukan salib dan tentara
Shalahuddin, seorang panglima pasukan salib Count Rainald de Chatillon
dengan membawa pasukan besar menuju Makkah dan Madinah. Dengan pasukan
yang lengkap persenjataannya dan gegap gempita pasukannya ia hendak
meluluhkan dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Tak ubahnya
pasukan gajah yang dulu hendak menghancurkan Ka'bah, pasukan Count
Rainald de Catillon pun membawa niat yang sama. Tapi nasibnya memang tak
lebih dari pasukan gajah pimpinan raja Abraha, pasukan salib pun dapat
dihancurkan oleh kekuatan Islam di laut merah. Dengan sisa-sisa
pasukannya Count Rainald de Catillon kembali lagi ke Jerussalem dengan
tangan hampa.
Dalam
perjalanan pulangnya ia melakukan perusakan dan pembantaian penduduk
sipil yang tak berdaya. Sisa pasukannya melampias-kan kekalahan dengan
biadab dan manusiawi. Di tengah perjalanan itu pula ia dan pasukannya
bertemu dengan rombongan kabilah. Dalam rombongan kabilah itu kebetulan
sekali terdapat salah seorang saudara perempuan Shalahuddin Al Ayyubi.
Bak singa
menemukan mangsa, tanpa pikir panjang lagi kabilah kecil itu di hancur
lumatkan pula. Ia menawan saudara perempuan Shalahuddin dan sesumbar
pada orang-orang tentang kemenangan kecilnya. Dengan angkuh ia berkata,
"Apakah Muhammad, nabi mereka itu, mampu datang dan menyelamatkan
pengikutnya?"(her)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar