Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum Muslimin segera mencari pengganti untuk melanjutkan kepemimpinan Islam. Ketika itu Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu dan Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu 'anhu sambil mengatakan kepada khalayak:
“Salah satu dari kedua orang ini adalah yang paling tepat menjadi khalifah. Umar yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai orang yang dengannya Allah memuliakan Islam dan Abu Ubaidah yang dikatakan Rasulullah sebagai kepercayaan ummat ini.”
Tangan Umar gemetar mendengar kata-kata Abu Bakar itu, seakan ia kejatuhan bara yang menyala. Abu Ubaidah menutup mukanya dan menangis dengan rasa malu yang sangat. Umar bin Khaththab lalu berteriak:
Tangan Umar gemetar mendengar kata-kata Abu Bakar itu, seakan ia kejatuhan bara yang menyala. Abu Ubaidah menutup mukanya dan menangis dengan rasa malu yang sangat. Umar bin Khaththab lalu berteriak:
“Demi Allah, aku lebih suka dibawa ke depan lalu leherku ditebas walau tanpa dosa, daripada diangkat menjadi pemimpin suatu kaum dimana terdapat Abu Bakar!”
Pernyataan Umar ini membuat Abu Bakar terdiam, karena tidak mengharapkan dirinya yang ditunjuk menjadi khalifah. Dia menyadari dirinya sangat lemah dalam mengendalikan pemerintahan. Tidak setegas Umar dan tidak sebijak Abu Ubaidah.
Tapi akhirnya pikiran dan perasaan semua orang terarah kepada Abu Bakar. Karena dialah sesungguhnya yang paling dekat, ditinjau dari berbagai aspek, untuk menduduki jabatan khalifah yang teramat berat ini.
Setumpuk alasan dapat dikemukakan untuk menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah. Dialah orang yang dianggap paling dekat dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan paling kuat imannya, sesuai pernyataan Nabi:
Pernyataan Umar ini membuat Abu Bakar terdiam, karena tidak mengharapkan dirinya yang ditunjuk menjadi khalifah. Dia menyadari dirinya sangat lemah dalam mengendalikan pemerintahan. Tidak setegas Umar dan tidak sebijak Abu Ubaidah.
Tapi akhirnya pikiran dan perasaan semua orang terarah kepada Abu Bakar. Karena dialah sesungguhnya yang paling dekat, ditinjau dari berbagai aspek, untuk menduduki jabatan khalifah yang teramat berat ini.
Setumpuk alasan dapat dikemukakan untuk menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah. Dialah orang yang dianggap paling dekat dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan paling kuat imannya, sesuai pernyataan Nabi:
“Kalau iman seluruh ummat Islam ditimbang dengan iman Abu Bakar, maka lebih berat iman Abu Bakar.”
Maka terangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Saat pertama kali Abu Bakar menginjakkan kaki di mimbar Rasulullah, ia hanya sampai pada anak tangga kedua dan duduk di situ tanpa berani melanjutkan ke anak tangga berikutnya, sambil berpidato:
Maka terangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Saat pertama kali Abu Bakar menginjakkan kaki di mimbar Rasulullah, ia hanya sampai pada anak tangga kedua dan duduk di situ tanpa berani melanjutkan ke anak tangga berikutnya, sambil berpidato:
“Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya aku diangkat menjadi pemimpin kalian, tapi aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Dan jika aku berbuat kesalahan, maka luruskanlah aku. Ketahuilah, sesungguhnya orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku, hingga aku berikan hak kepadanya. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika aku durhaka, janganlah kalian taat kepadaku.”
Sang khalifah berusaha menjaga wibawa kepemimpinan. Tapi dalam kedudukannya sebagai seorang pemimpin dia berusaha meyakinkan orang yang di bawah kepemimpinannya bahwa jabatan adalah amanah yang menuntut tanggung jawab, bukan penguasaan. Penguasa adalah satu orang di antara ummat, bukan ummat dalam satu orang. Abu Bakar tidak menginginkan karena jabatan, dia jadi jauh dengan ummat. Sebaliknya, dia ingin semakin dekat dengan mereka. Terhadap ketentuan Nabi dia menyatakan:
Sang khalifah berusaha menjaga wibawa kepemimpinan. Tapi dalam kedudukannya sebagai seorang pemimpin dia berusaha meyakinkan orang yang di bawah kepemimpinannya bahwa jabatan adalah amanah yang menuntut tanggung jawab, bukan penguasaan. Penguasa adalah satu orang di antara ummat, bukan ummat dalam satu orang. Abu Bakar tidak menginginkan karena jabatan, dia jadi jauh dengan ummat. Sebaliknya, dia ingin semakin dekat dengan mereka. Terhadap ketentuan Nabi dia menyatakan:
“Saya lebih rela diterkam serigala daripada mengubahnya.”
Demikianlah gambaran ketegangan yang terjadi pada waktu pemilihan jabatan khalifah. Semua orang menolak jabatan, padahal kapasitas para sahabat sangat memadai untuk memegang kekuasaan.
Demikianlah gambaran ketegangan yang terjadi pada waktu pemilihan jabatan khalifah. Semua orang menolak jabatan, padahal kapasitas para sahabat sangat memadai untuk memegang kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar