Proses perjalanan Jama'ah Imamah (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah) diaplikasikan oleh ummat dengan beriman dan beramal shaleh. Beribadah semata-mata hanya kepada Allah. Ada pun masalah perkembangannya hanya ada di tangan Allah.
Sebagai Amir, da'i, mujahid atau murabbi, hidup baginya adalah berjuang meninggikan kalimat Allah, menyeru agar manusia menyembah Allah tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Menyeru kaum Muslimin agar kembali kepada system Jama'ah Imamah mengikuti jejak Kenabian atau Khilafah 'ala minhajin nubuwwah.
Perjuangan menegakkan tauhid dan terwujudnya tatanan masyarakat Muslimin yang terpimpin sebagaimana pernah dicontohkan dan dipraktekkan para Nabi dan umatnya banyak menghadapi berbagai ujian dan tantangan.
Sejarah masa lalu memang enak didengar dan dikenang kisahnya bagi generasi penerusnya, tapi pahit bagi pelakunya. Karena pada saat pelaku sejarah mengalami berbagai kendala dan ujian berat menimpanya, dia tidak tahu apa yang akan terjadi dan yang akan menimpa dirinya. Ditambah lagi dengan sifat manusia yang gampang berkeluh kesah dan ingin cepat selesai ketika masalah melilit dirinya. Belum lagi godaan yang datang dari kana-kiri-muka-belakang, bisikan-bisikan syetan yang selalu membayang-bayangi dengan bayangan-bayangan buruk dan kesulitan-kesulitan. Tidak heran jika para pejuang di jalan Allah banyak yang jatuh bangun kehilangan istiqamah, bahkan gugur di tengah jalan tidak sampai pada tujuan.
Pengakuan dan ungkapan kata-kata saja tidak cukup. Iman yang kokoh disertai istiqomah menjadi syarat utama. Di samping itu juga diperlukan kesungguhan dan kesabaran yang tinggi. Di antara ujian yang paling berat bagi para Mujahid Da'wah, para Amir, para Murabi adalah ujian yang datang dari pikirannya sendiri.
Tidak jarang terjadi bahkan seolah-olah menjadi suatu keharusan bagi penegak sunnah harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak menyukai, kemudian berubah menjadi benci dan memusuhi, terkadang menggunakan segala cara untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka memfitnah, mengadu domba dan tidak segan-segan untuk mencelakakan para Mujahid Da'wah penegak sunnah.
Ujian yang lebih berat adalah ujian yang datang dari pikirannya sendiri berupa bisikan hati dan pertarungan batin antara tanggungjawab sebagai mujahid yang dituntut serius dan konsentrasi sehingga dia terikat di jalan Allah (ukhsiru fii sabilillah) di satu sisi, dan tuntutan ekonomi dan godaan dunia si sisi lain.
Ikhlas satu kata yang mudah diucapkan tetapi pada prakteknya tidak semudah mengatakannya dalam memposisikan diri sebagai mujahid. Ikhlas merupakan hasil pertarungan antara syahwat dan iman. Di sini terletak puncak kemuliaan dan sekaligus syarat mutlak bagi seorang Mujahid Da'wah, Amir atau seorang Murabi. Di hadapan Allah kelak pada hari Qiyamat, hati kita akan dibedah, adakah ikhlas di dalam setiap amal kita?
Di antara penyakit para Mujahid Da'wah, Amir atau Murabi yang menjadi kendala perjuangan adalah sifat tergesa-gesa, ingin cepat sampai dan kurang sabar mengikuti proses, berhenti di tengah jalan dan tidak sampai pada tujuan. Dalam hal ini, kita harus selalu ingat bahwa tugas seorang Da'i, Amir atau Murabi adalah bukan mengimankan atau menguasai seseorang, tugasnya hanya menyajikan informasi Ilaahi, menyampaikan mau'izhah hasanah bil hikmah, membimbing dengan bijak dan santun. Kekeliruan lain adalah menganggap Islam miliknya, kemudian dirinya merasa paling berhak untuk memfonis orang, mengobral kalimat sesat dan bid'ah, gemar mempertentangkan dan berdebat masalah furu' bersetegang urat leher lupa ungguah ungguh, merusak ukhuwah. Padahal merusak ukhuwah haram hukumnya. Kemudian mengkalim diri dan kelompoknya yang paling benar, orang lain harus mengikuti pendapatnya.
Tidak kalah dahsyatnya adalah penyakit hati seperti ananiyah, egois dan popularitas. Gemar dipuji suka mencela. Merasa diri terbaik dan tidak suka melihat kelebihan orang lain. Gampang janji mudah lupa, emosional dan sensitif mudah tersinggung. Nggumunan dan kagetan akibatnya terhadap banyak hal menjadi kurang objektif. Jika sedang senang berlebihan tanpa reserve, tapi manakala benci diapun berlebihan, simpati berubah menjadi anti pati. Da'i, Mujahid atau Murabi seperti ini lebih berbahaya daripada seribu awwam yang sesat. Karena dia sesat dan bisa menyesatkan banyak orang.
Al insafu min nafsih, adalah munculnya kesadaran diri yang mutlak diperlukan. Kesadaran diri ini akan timbul bila ada kejernihan hati dan kepekaan radar iman. Kita akan menjadi tahu tentang kekuarangan yang ada pada diri sendiri dan apa yang sedang terjadi di dalam hati.
Berkata dan bertindak arif dan bijak menjadi suatu keharusan bagi seorang Da'i, Amir atau Murabi. Demikian pula ketepatan diagnosa dan analisa terhadap persoalan yang timbul. Layaknya bagai seorang dokter ketepatan diagnosa sangat berpengaruh terhadap kesembuhan penyakit pasien. Sebaliknya, jika salah diagnesa akan salah pula resep yang dibuat dan salah pula obat yang diberikan, bukan kesembuhan tapi bertambah pula penyakitnya bahkan bisa mati karenanya. Empan papan dan tepat guna dalam menyampaikan atau memberi keputusan dan pengarahan menjadi suatu keharusan.
Untuk menjadi arif bagi seorang Da'i. Amir atau Murabi memenag harus melewati proses pematangan dari berbagai peristiwa dan pengalaman di lapangan, tetapi yang penting kita bisa belajar dari orang lain dan belajar dari berbagai fenomena dan peristiwa yang terjadi. Wallahu a'lam.
(Ust. Abul Hidayat Saerojie).
(Tulisan dari makalah acara: "TADRIB KADER KHILAFAH" Wilayah Jabotabek di Masj. At-Taqwa, Cibubur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar