Jumat, 23 Desember 2011

NEGARA ADALAH SEBUAH KONSEPSI POLITIK



HIJRAH DALAM WACANA POLITK

Hijrah-nya Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dari Mekah ke Yastrib atau yang sekarang lebih dikenal dengan Madinah Al-Munawarah,telah membuat sebuah perubahan besar dalam perjalanan sejarah beliau dan kaum muslimin serta mempunyai pengaruh yang besar terhadap perjalanan sejarah Islam dan Muslimin pada beberapa generasi berikutnya serta mempunyai pengaruh yang baik dan penting dalam sejarah kehidupan manusia secara umum.


Jika kita memandang perjalanan hijrah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam ke Madinah tersebut dengan akal kita semata, maka kita akan mengatakan bahwa ketika berada di Madinah,  Rasulullah telah mendirikan Negara Islam atau Negara Khilafah.

Inilah yang banyak diyakini oleh kebanyakan kaum Muslimin saat ini, baik oleh kaum intelektualnya maupun oleh kaum awamnya. Sehingga ada beberapa kelompok perjuangan muslimin yang berupaya untuk mewujudkan apa yang mereka dapatkan dari pandangan mereka terhadap perjalanan Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan para shohabatnya ketika berada di Madinah tersebut, sebagai upaya mereka untuk mengamalkan Islam secara kaffah, yaitu dengan berdirinya Negara Islam atau berdirinya Negara Khilafah.

Sesungguhnya apa yang disimpulkan oleh pandangan akal kita, tentu telah dipengaruhi oleh apa-apa yang telah masuk kedalam otak kita, baik berupa realita yang ada dihadapan kita dimana kehidupan manusia sejak masa moderen telah terkotak oleh bingkai politik yang bernama negara yang bersifat nasionalis, ataupun oleh informasi dan pengetahuan tentang politik itu sendiri yang telah masuk kedalam lingkungan muslimin sejak beberapa generasi sebelumnya.

Ketika penelitian dibidang ilmu pengetahuan berkembang di zaman dinasti Abbasiyah, maka banyak muslimin ketika itu yang meneliti ilmu pengetahuan yang telah didapat oleh bangsa-bangsa non muslim sebelum mereka, tidak luput kajian tentang ilmu filsafat. Setelah buku-buku tentang filsafat diterjemahkan, maka tidak sedikit cendikiawan muslim yang alam fikiran mereka tanpa sadar telah terpengaruh oleh pemikiran filsafat sehingga munculah buku-buku yang membahas tentang politik seperti buku Ahkamus Sulthoniyah yang ditulis oleh Al-Mawardi. Dan buku inilah yang menjadi pegangan resmi kelompok-kelompok yang bercita-cita mendirikan negara Islam atau negara Khilafah.

Satu hal yang menguatkan keyakinan ini bukanlah Al-Quran maupun hadis melainkan kaidah usul fiqih yang menyatakan bahwa: "Suatu hal yang menyebabkan sempurnanya satu kewajiban maka ianyapun menjadi wajib."

Keyakinan dari kebanyakan muslimin saat ini yang alam fikirannya telah dipengaruhi oleh pengetahuan politik akan semakin kuat dengan kaidah usul fiqih tersebut, sehingga mereka tanpa ragu akan mengatakan bahwa kekuasaan dan negara itu adalah wajib kita raih untuk melaksanakan Islam secara kaffah.

Dan hijrah-nya Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam ke Yastrib menurut mereka yang menggunakan sudut pandang politik adalah untuk mencari dukungan dari penduduk Yastrib agar akhirnya beliau dapat berkuasa di sana, dan setelah berkuasa itulah syari'at Islam dapat dilaksanakan secara kaffah termasuk hukum-hukum hudud-nya.

Dengan demikian, pandangan secara politis akan mengatakan bahwa hijrahnya nabi Muhammad ke Yastrib adalah untuk mencari kekuasaan. Oleh karena itu gerakan-gerakan yang mempunyai keyakinan seperti ini, benar-benar berupaya untuk berkuasa, baik melalui jalur kompromis dengan kepartaian ataupun melalui jalur konfrontatif yaitu perebutan kekuasaan dengan perang.

Timbal balik dari gerakan-gerakan seperti ini, akan selalu berbenturan dengan penguasa yang ada. Jika melalui jalur partai dan parlemen maka mereka akan bertemu dengan partai yang berlawanan ide dengan partai mereka dan jika melalui langkah yang kedua pada akhirnya akan menimbulkan konflik berdarah yang berkepanjangan.

Celakanya, jika penguasa yang ada ternyata muslimin juga, sehingga terjadilah benturan dan saling menumpahkan darah sesama muslimin yang telah diharamkan oleh Allah. Inilah dampak dari pandangan perjalanan hijrahnya Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dengan kaca mata politik. Oleh karena itu, jika kita ingin memandang perjalanan Rasulullah dengan benar, maka singkirkan dulu kaca mata politik yang ada didepan mata kita.

Satu-satunya hujah yang dapat mereka sandarkan kepada nabi Muhammad untuk memperkuat hujah kelompok-kelompok ini tentang negara, bukanlah Al-Quran ataupun hadis, melainkan Piagam Madinah.

Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal, 23 fasal piagam tersebut membicarakan tentang hubungan antara umat Islam sesama umat Islam iaitu antara Ansar dan Muhajirin dan 24 fasal yang berbaki membicarakan tentang hubungan umat Islam dengan umat bukan Islam iaitu Yahudi.

Dari ke 47 pasal dalam Piagam Madinah tersebut, hanya satu pasal saja yang menyinggung kata negara, yaitu pasal ke 37 :

Fasal 37 : 
Bahwa orang-orang Yahudi hendaklah membiayai negara seperti mana orang-orang mukmin juga hendaklah membiayai negara; dan hendaklah mereka sama-sama tolong-menolong menentang sesiapa jua yang memerangi orang-orang yang menganggotai Piagam ini; dan hendaklah mereka saling nasihat-menasihati, sama-sama membuat kebajikan terhadap perbuatan dosa.

Kata negara yang berada dalam terjemahan pasal 37 diatas, diterjemahkan dari kata "daulah". Maka yang perlu kita renungkan, pada masa Rasulullah hidup, sistem pemerintahan yang ada adalah kerajaan dan kekaisaran dimana kekaisaran pada dasarnya adalah sebuah kerajaan besar yang membawahi raja-raja lain, artinya dia adalah raja juga. Sedangkan didalam sebuah hadisnya, Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa beliau bukanlah raja.

Satu-satunya yang sedikit berbeda ketika itu adalah kekaisaran Romawi, dimana sistem pemerintahan mereka tidak murni kerajaan tetapi telah mengadopsi konsep demokrasi yang belum dikenal oleh kerajaan-kerajaan dan kekaisaran lainnya. Konsep demokrasi ini berasal dari imperium Yunani yang telah mereka hancurkan namun konsep demokrasi yang semula hak patent-nya berasal dari Yunani akhirnya menjadi milik Romawi dan telah diadopsi dengan telak oleh negara super power didunia moderen yang kita kenal dengan julukan; negerinya Paman Sam (Uncle Samiri) yaitu Amerika.

Apakah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan istilah daulah yang terdapat pada Piagam Madinah juga merujuk kepada daulahnya Romawi yang tidak lain menjiplaknya dari Yunani?

Untuk itu marilah kita kaji secara teliti kembali darimana sumber konsep itu berasal yaitu Yunani, dimana dikenal diantara mereka orang-orang yang mempunyai fikiran yang luas dan dalam yang disebut filsuf / philosopher.


ILMU POLITIK ADALAH SEBUAH KONSEPSI AKAL

Sejarah ilmu politik, dilhat secara etimologi dan historis jelas berasal dari Yunani kuno. Setelah terjadi revolusi rakyat pada tahun 508 SM munculah sebuah negara demokrasi dipertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM tepatnya dikota Athena. Kota Athena inilah yang menjadi "negara kota" pertama didunia yang berasaskan demokrasi.

Kata "demokrasi" – δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat" berasal dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan". Pencetus pertama istilah demokrasi ini adalah Gorgias yang lahir di Leontinoi, Sisilia. sekitar tahun 483 SM dan meninggal dunia tahun 375 SM pada usia 108 tahun.

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Dengakan kata lain, Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Inti dari pada demokrasi adalah: suara terbanyak dari rakyatlah yang menjadi penentu segala urusan pemerintahan mereka.

Didalam perjalanan sejarahnya, negara demokrasi mendapatkan banyak kekurangan yang harus ditambal. Bisa dibayangkan sebuah negara yang kekuasaannya bergantung kepada orang banyak, tentunya semua orang menginginkan apa yang diinginkannya terwujud, maka hal itu pasti akan memunculkan kekacauan yang baru. Oleh karena itulah seorang filsuf yang bernama Plato yang hidup sekitar 427 SM hingga 347 SM, membuat sebuah rumusan tentang negara demokrasi ini didalam bukunya "Republik" yang artinya "kembali kepada Rakyat" dan "Politia" yang berarti "ilmu ketata negaraan".

Apa yang telah dirumuskan oleh Plato dalam bukunya yang telah dijadikan acuan untuk menjalankan roda pemerintahan Yunani kuno, masih juga dirasakan kekurangannya oleh muridnya sendiri, Aristoteles, (‘Aριστοτέλης Aristotélēs), yang menjadi guru Aleksander yang agung (Alexander the greath) dan hidup sekitar 384 SM hingga 322 SM, sehingga diapun menulis sebuah buku berjudul "politik" dari bahasa Yunani πολιτικος, [politikós]: yang manknanya adalah: adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Dari judul buku Aristoteles inilah ilmu ke-tataa negara-an dinamai, yaitu ILMU POLITIK.

Definisi tentang Politik yang sederhana adalah: Suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.

Satu definisi lain yang lebih ringkas yaitu: Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Dari uraian singkat tentang sejarah dan etimologi tentang politik, jelas sekali ilmu politik itu berasal dari hasil pemikiran manusia. Maka menjadi satu hal yang harus direnungkan secara mendalam oleh seorang muslim yang ingin mendapatkan ridha Allah dalam meniti jalan menuju ampunan dan keridhaan-Nya, satu penjelasan dari Allah subhanahu wata'ala yang terdapat didalam Al-Quran pada ayat-ayat dibawah ini :


 وَٱلنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ ﴿النجم:١﴾    مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ ﴿النجم
:٢﴾    وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ ﴿النجم:٣﴾ 

Demi bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)  
kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, (QS. 53:2)  
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS. 53:3)  
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (QS. 53:4)


HAKIKAT HIJRAH DAN PIAGAM MADINAH

Berpegang pada Ayat-ayat tersebut diatas, Q.S 53:1-4, maka tidaklah mungkin nabi Muhammad mengikuti pemikiran Plato dan Aristoteles, dimana mereka telah lebih dahulu hidup daripada Nabi Muhamad shollallahu 'alaihi wasalam. Artinya, permikiran mereka yang prakteknya telah mendahului peristiwa Hijrah dan Piagam Madinah, tidak mungkin menjadi acuan bagi Rasulullah dalam menegakkan Islam dimuka bumi. Oleh karena itu, kata "daulah" yang tertulis didalam Piagam madinah tidaklah juga mengikuti konsepnya Plato dan Aristoteles sebagai sebuah "negara", tetapi lebih condong diartikan sebagai "negeri" yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka sebagai pelaksanaan janji-Nya yang tertulis dalam ayat dibawah ini :

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik. (QS. 24:55) 

Merujuk kepada ayat diatas, maka daulah (negeri) yang dimaksud adalah negeri Yastrib yang didalamnya Khilafah (kekuasaan) Allah dimuka bumi telah nyata dan terpenuhi. Dan Khilafah ini diberikan kepada nabi Muhammad dan kaum muslimin adalah karena mereka telah mengamalkan apa yang menjadi syarat untuk terpenuhinya janji tersebut yaitu melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan inilah amal shaleh tersebut yang terdapat dalam sebuah hadis dibawah ini:

Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, berkata: “Aku perintahkan kepada kamu sekalian (Muslimin) lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkan aku dengan lima perkara itu; bil-Jama’ah (dengan Al-Jama’ah), wa bisam’i (dan dengan mendengar), wa tho’at (dan taat), wal hijrah (dan hijrah), wal jihad ( dan jihad fi sabilillah). Barang siapa yang keluar dari Al-Jama’ah sekedar sejengkal saja, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai dia kembali (kedalam Al-Jama’ah). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, maka ia termasuk golongan orang yang bertekuk lutut dalam neraka jahanam.” Para shahabat bertanya : “”Ya Rasulullah bagaimana jika ia tetap shaum dan shalat?” Rasul bersabda : “Sekalipun ia shaum dan sholat dan mengaku dirinya muslim, maka panggilah orang-orang muslim itu dengan nama yang telah Allah berikan kepada mereka; “Al-Muslimin, Al-Mukminin, hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla” (H.R. Ahmad Bin Hambal dari Haris Al-Asy’ari, Musnad Ahmad : IV/202, At-Tirmidzi Sunan At-Tirmidzi Kitabul Amtsal, bab Maa Jaa fi Matsalis Shalati wa Shiyami wa Shodaqoto:V/148-149 No.2263. Lafadz Ahmad)

Setelah melaksanakan empat perkara yang terdapat didalam hadis diatas yaitu : biljama'ah, wabisam'i, watho'at, walhijrah; maka Allah memberikan Khilafah (kekuasaan) yang diawali dengan terjadinya perjanjian diantara pihak muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dengan penduduk kota Yastrib yang bukan muslim seperti kaum Yahudi yang diwakili oleh kaum Yahudi dari Bani Auf.

Kata Madinah sendiri, jelas bukanlah sebuah nama untuk sebuah negara, melainkan sebuah kata yang berarti kota dan yang dimaksud adalah kota Yastrib,  yang kemudian disebut "Madinah Al-Munawarah" yang berarti "kota yang penuh dengan cahaya" setelah Rasulullah melakukan hijrah ke kota (madinah) Yastrib tersebut.

Dengan demikian hakikat daripada Piagam Madinah hanyalah sebuah perjanjian (hablum minanas) yang mengikat penduduk kota Yastrib untuk sama-sama menjaga kerukunan mereka masing-masing dan menjaga keamanan kota Yastrib bersama-sama bukan sebuah deklarasi berdirinya sebuah negara yang bernama Madinah.

Dan dengan perjalanan waktu, istilah "Madinatul Munawarah" yang telah populer pada saat itu, maka nama Yastrib mulai dilupakan orang beriman. Mereka lebih senang menyebutnya Madinah sebagai kependekan dari kalimat Madinah Al-Munawarah dan masih disebut demikian sampai saat ini.

Setelah terjadinya perjanjian Madinah, muslimin lebih dapat mengkonsentrasikan perhatian mereka untuk mengamalkan Islam secara kaffah dan menda'wahkan Islam dengan lebih tenang. Oleh karena itu, dapatlah kita mengerti jika ternyata Allah menurunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum hudud setelah terjadinya perjanjian Madinah tersebut.


ANTARA KONSEP POLITIK DAN WAHYU

Mungkin pembaca belum dapat memahami benar uraian diatas, sehingga belum dapat membedakan dengan jelas antara negara Athena dan daulah Madinah (Yastrib) dan antara Konstitusi Negara dengan Piagam Madinah yang secara lahiriah memang nampak sama. Ada baiknya kita mengambil kisah nabi Musa sebagai contoh pembandingnya dibawah ini :

  وَقَالَ مُوسَىٰ يٰفِرْعَوْنُ إِنِّى رَسُولٌ مِّن رَّبِّ ٱلْعٰلَمِينَ ﴿الأعراف:١۰٤﴾   حَقِيقٌ عَلَىٰٓ أَن لَّآ أَقُولَ عَلَى ٱللَّـهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ قَدْ جِئْتُكُم بِبَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ فَأَرْسِلْ مَعِىَ بَنِىٓ إِسْرٰٓءِيلَ ﴿الأعراف:١۰٥﴾   قَالَ إِن كُنتَ جِئْتَ بِـَٔايَةٍ فَأْتِ بِهَآ إِن كُنتَ مِنَ ٱلصّٰدِقِينَ ﴿الأعراف:١۰٦﴾   فَأَلْقَىٰ عَصَاهُ فَإِذَا هِىَ ثُعْبَانٌ مُّبِينٌ ﴿الأعراف:١۰٧﴾   وَنَزَعَ يَدَهُۥ فَإِذَا هِىَ بَيْضَآءُ لِلنّٰظِرِينَ ﴿الأعراف:١۰٨﴾   قَالَ ٱلْمَلَأُ مِن قَوْمِ فِرْعَوْنَ إِنَّ هٰذَا لَسٰحِرٌ عَلِيمٌ ﴿الأعراف:١۰٩﴾  يُرِيدُ أَن يُخْرِجَكُم مِّنْ أَرْضِكُمْ ۖ فَمَاذَا تَأْمُرُونَ ﴿الأعراف:١١۰﴾    قَالُوٓا۟ أَرْجِهْ وَأَخَاهُ وَأَرْسِلْ فِى ٱلْمَدَآئِنِ حٰشِرِينَ﴿الأعراف:١١١﴾   يَأْتُوكَ بِكُلِّ سٰحِرٍ عَلِيمٍ ﴿الأعراف:١١٢﴾    وَجَآءَ ٱلسَّحَرَةُ فِرْعَوْنَ قَالُوٓا۟ إِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِن كُنَّا نَحْنُ ٱلْغٰلِبِينَ ﴿الأعراف:١١٣﴾  قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ لَمِنَ ٱلْمُقَرَّبِينَ﴿الأعراف:١١٤﴾   قَالُوا۟ يٰمُوسَىٰٓ إِمَّآ أَن تُلْقِىَ وَإِمَّآ أَن نَّكُونَ نَحْنُ ٱلْمُلْقِينَ﴿الأعراف:١١٥﴾   قَالَ أَلْقُوا۟ ۖ فَلَمَّآ أَلْقَوْا۟ سَحَرُوٓا۟ أَعْيُنَ ٱلنَّاسِ وَٱسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَآءُو بِسِحْرٍ عَظِيمٍ﴿الأعراف:١١٦﴾  ۞  وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَإِذَا هِىَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ ﴿الأعراف:١١٧﴾   فَوَقَعَ ٱلْحَقُّوَبَطَلَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ ﴿الأعراف:١١٨﴾   فَغُلِبُوا۟ هُنَالِكَ وَٱنقَلَبُوا۟ صٰغِرِينَ﴿الأعراف:١١٩﴾   وَأُلْقِىَ ٱلسَّحَرَةُ سٰجِدِينَ ﴿الأعراف:١٢۰﴾   قَالُوٓا۟ ءَامَنَّا بِرَبِّ ٱلْعٰلَمِينَ ﴿الأعراف:١٢١﴾   رَبِّ مُوسَىٰ وَهٰرُونَ ﴿الأعراف:١٢٢  ﴾ 


Dan Musa berkata: "Hai Fir'aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Rabb semesta alam, (QS. 7:104) wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Rabbmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku". (QS. 7:105) Fir'aun menjawab: "Jika benar kamu membawa suatu bukti, maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar". (QS. 7:106) Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya. (QS. 7:107) Dan ia mengeluarkan tangannya, maka seketika itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya. (QS. 7:108) Pemuka-pemuka kaum Fir'aun berkata: "Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai, (QS. 7:109) yang bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu". (Fir'aun berkata): "Maka apakah yang kamu anjurkan?" (QS. 7:110) Pemuka-pemuka itu menjawab: "Beritangguhlah dia dan saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir), (QS. 7:111) supaya mereka membawa kepadamu semua ahli sihir yang pandai". (QS. 7:112) Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun mengatakan: "(Apakah) sesungguhnya kami akan mendapat upah, jika kamilah yang menang?" (QS. 7:113) Fir'aun menjawab, "Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku)". (QS. 7:114) Ahli-ahli sihir berkata: "Hai Musa,kamulah yang akan melempar lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan". (QS. 7:115) Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!". Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena'jubkan). (QS. 7:116) Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu!". Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. (QS. 7:117) Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. (QS. 7:118) Maka mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. (QS. 7:119) Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud 554. (QS. 7:120) Mereka berkata: "Kami beriman kepada Rabb semesta alam, (QS. 7:121)(yaitu) Rabb Musa dan Harun". (QS. 7:122)

0554] Mereka terus bersujud kepada Allah karena meyakini kebenaran seruan Nabi Musa a.s. dan bukan ia ahli sihir sebagai yang mereka duga semula.

Hikmah apa yang dapat kita ambil dari kisah Musa diatas yang berkaitan dengan bahasan kita antara Konsep Politik dan Wahyu?

Tidak ada lain, bahwa apa yang dilakukan oleh ahli sihirnya firaun terhadap tali temali yang mereka miliki, menghasilkan hal yang sama dengan apa yang muncul setelah nabi Musa melemparkan tongkatnya yaitu ular.

Akan tetapi ada satu perbedaan yang hanya dapat dilihat hanya oleh orang yang beriman yaitu, para ahli sihir tersebut telah berupaya untuk merubah tali temali dengan membacakan mantera dan melemparkannya dengan tujuan merubahnya menjadi ular. Jadi merekalah yang berupaya dengan usaha mereka sendiri dengan niat untuk menjadikan tali-temali itu menjadi ular dengan ilmu sihir yang mereka miliki.

Sementara nabi Musa tidak punya niat untuk merubah tongkatnya menjadi ular. Ketika beliau melemparkan tongkatnya, hanyalah semata-mata melaksanakan perintah Allah untuk melemparkan tongkat yang ada ditangannya.

Sebenarnya, sihir hanyalah menipu pandangan mata orang yang melihatnya bahwa tali temali itu berubah menjadi ular,  tetapi tentu para ahli sihir itu tidak menipu pandangan mata mereka sendiri. Dalam pandangan mata mereka, ular itu tetap tali-temali yang bergerak dan digerakan oleh mahluk jin yang tak nampak oleh mata manusia.



Akan tetapi, tongkat nabi Musa benar-benar telah menjadi ular yang nyata sehingga dia dapat memakan ular-ular para ahli sihir Firaun tersebut. Hal ini diketahui benar oleh para ahli sihir tersebut bahwa apa yang dilakukan oleh nabi Musa bukanlah sihir melainkan mu'jizat yang datangnya dari Tuhan rabbul alamin. Oleh karena itu mereka langsung sujud ke-tanah dan menyatakan keimanan mereka kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Jadi seperti halnya apa yang terjadi antara ahli sihir Firaun dan nabi Musa, dimana ahli sihir itu memang berniat untuk merubah tali-temali menjadi ular dengan satu usaha berupa sihir, sementara nabi Musa tidak punya niat untuk merubah tongkat menjadi ular tetapi semata-mata hanya melaksanakan perintah Allah untuk melemparkan tongkat yang ada ditangannya, lalu Allah-lah yang telah menjadikan tongkat itu se-ekor ular juga.

Maka begitu pula berdirinya negara Athena adalah karena memang rakyat disana ketika itu menginginkan hal tersebut dan melakukan satu upaya yang disebut revolusi sehingga negara Athena terwujud. Sementara Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam hanyalah melakukan seperti yang dilakukan oleh nabi Musa yaitu melaksanakan perintah Allah untuk hijrah sebagaimana terdapat perintahnya dalam hadis diatas, dan lalu Allah-lah yang telah memberikan kekuasaan kepada beliau dan kaum muslimin lainnya sehingga terwujudlah daulah (negeri) Khilafah dikota Yastrib yang sekarang lebih dikenal dengan Madinah Al-Munawarah yang berarti kota yang penuh dengan cahaya, yaitu cahaya petunjuk berupa Al-Quran dan As-Sunnah.

Satu contoh gambaran lain bagaimana cara memandang perjalanan hijrahnya Rasulullah dengan alam fikiran yang telah dipengaruhi oleh pengetahuan tentang politik menimbulkan bias dalam pandangan kita, yaitu seperti kita memandang sebuah pinsil yang lurus berada didalam gelas bening yang berisi air bening. Maka dalam pandangan kita, pinsil yang semula lurus akan menjadi bengkok.

Itu artinya, perjalanan hijrahnya Rasulullah dalam pandangan mata mereka yang alam fikirannya telah dipengaruhi ilmu politik menjadi bengkok, yaitu untuk mencapai kekuasaan sehingga akhirnya terwujudlah negara Islam Madinah, bukan karena melaksanakan perintah Allah untuk hijrah. Maka jika kita ingin mendapatkan pandangan yang lurus dari perjalanan sejarah Rasulullah dalam menegakkan agama Allah dimuka bumi, keluarkanlah pinsil tersebut dari gelas politik yang menjadi wadahnya, yaitu negara, karena negara adalah sebuah konsepsi politik yang didalamnya dibicarakan bagaimana cara mencapai dan mempertahankan serta mengurus kekuasaan.

Salah satu sebab lain sehingga terjadinya kekeliruan pandangan seperti ini, adalah karena adanya keyakinan bahwa politik itu adalah bagian daripada Islam. Diantara ulama-ulama yang telah terkontaminasi dengan keyakinan ini, akhirnya terjun kedunia politik bahkan mendirikan partai politik sebagai kendaraannya untuk mencapai kekuasaan. Maka sudah pastilah mereka itu salah jalan (tersesat) dan tentunya akan menyebabkan orang-orang yang telah mengikutinya salah jalan (tersesat) juga.

Jika dilihat secara lahiriyah, setelah hijrah ke Yastrib Rasulullah memang akhirnya berkuasa begitupun para Khalifah yang empat yang menjadi pelanjutnya. Akan tetapi jelas tidaklah sama hakikat antara kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah dengan Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin politik. Kekuasaan yang diperoleh oleh Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin adalah murni karunia Allah semata, sementara kekuasaan politik didapat dari upaya dan perjuangan yang ditempuh dengan niat untuk berkuasa bukan untuk melaksanakan perintah Allah.

Satu hadis yang menjadi kata pengingat persoalan ini yaitu : "Kepemimpinan yang di dunia jadi rebutan di akhirat akan jadi penyesalan" (Al-Hadis) dan itu tidak ada lain adalah kepemimpinan politik.

Semoga catatan ini berguna bagi para pembaca untuk mengamalkan Islam secara kaffah menurut sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin radiyallahu anhum, aamiin ya Rabbal 'alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar