Judul buku:
Mewaspadai Penyimpangan Neo Murji’ah
Penulis: Anung Al-Hamat, Lc., M.Pd.I
Tebal: 152 halaman
Ukuran: 21 x 14,5 cm
Penerbit: Forum Studi Sekte-Sekte Islam (FS3I)
Mewaspadai Penyimpangan Neo Murji’ah
Penulis: Anung Al-Hamat, Lc., M.Pd.I
Tebal: 152 halaman
Ukuran: 21 x 14,5 cm
Penerbit: Forum Studi Sekte-Sekte Islam (FS3I)
(PENGAWAL KHILAFAH) -- PERSELISIHAN dan
perpecahan adalah salah satu fitnah yang harus diwaspadai oleh setiap
Muslim, meski tak bisa dipungkiri bahwa keduanya adalah bagian dari
sunnatullah yang telah ditetapkan atas hamba-hamba-Nya. Jika dirunut,
seluruh fitnah yang ada maka sumber muaranya adalah syaitan.
Salah satu fenomena yang menyuburkan perselisihan dan perpecahan adalah saling mentahdzir (memblacklist)
sesama dai dan aktivis di dunia dakwah. Mereka saling mengklaim
kelompoknya yang paling benar sembari menuduh kelompok lain yang tidak
sefaham sebagai sesat, bid’ah, jahiliyah, batil, dan lain sebagainya.
Untuk mendeteksi suatu faham itu sesat
atau tidak, hal yang paling utama adalah meneropong konsep keimanannya.
Karena iman adalah hal prinsip dalam mengarungi kehidupan, sumber
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Buku ini menarik karena disuguhkan
secara apik untuk berbagai kalangan. Semua argumen disandarkan kepada
dalil shahih maupun pendapat ulama yang berkompeten.
Untuk mematangkan pembaca agar memahami
persoalan kesesatan dan bahaya sebuah sekte yang dibahas, penulis
menuntun dari hal-hal yang paling mendasar, yakni definisi iman. Hakikat
iman dijelaskan secara mendalam secara etimologis (lughawi) dan terminologis (isthilahi), lalu ditingkatkan ke hakikat iman berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits.
Definisi iman termasyhur dan terkuat
yang telah disepakati oleh para ulama adalah membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota tubuh. Iman
mencakup seluruh sendi agama dan seluruh bentuk ketaatan, baik ketaatan
terhadap perintah maupun larangan Allah SWT. Karenanya, Imam Bukhari
dalam Shahihnya menulis kitab “Al-Iman” dengan bab “Al-Iman Yazidu wa Yanqush” (iman itu bertambah dan berkurang).
Setelah melakukan pemanasan dengan
dasar-dasar keimanan, penulis mengajak pembaca mengkaji konsep iman
antara yang haq menurut Ahlussunnah Waljamaah dan membandingkannya
dengan konsep iman yang batil dari sekte Murji’ah, Khawarij dan
Mu’tazilah.
Menurut Ahlussunnah, hakikat dan konsep
iman berkaitan dengan hati, lisan dan perbuatan. Amal merupakan bagian
dari keimanan, karena tanpa amal maka klaim keimanan tidak akan ada
artinya. Ada amal yang menjadi syarat sahnya iman, ada pula amal yang
menjadi syarat penyempurna iman. Maka lahirlah cabang-cabang keimanan
yang berkaitan dengan hati, lisan dan perbuatan.
Di luar manhaj Ahlussunnah ada dua sekte yang sama-sama ekstrem, yaitu Mu’tazilah dan Murji’ah.
Sekte Mu’tazilah dan Khawarij memiliki
definisi iman yang sama dengan Ahlussunnah, bahwa iman terdiri dari
hati, lisan dan perbuatan. Tapi mereka menjadikan seluruh amalan sebagai
syarat sahnya iman. Jika salah satu amal tidak dilakukan, maka gugurlah
keimanan seseorang. Bahkan jika seseorang melakukan satu kemaksiatan,
maka iman seseorang dinyatakan telah hilang. Jadi orang yang berbuat
maksiat atau dosa misalnya berzina, mencuri, minum khamr, dsb, maka ia
dianggap sudah tidak memiliki iman dan keluar dari Islam oleh sekte ini.
Sebaliknya, sekte Murji’ah memandang
bahwa yang terpenting dalam keimanan adalah hati, karena amal bukan
bagian dari iman, tapi hanya sekedar penyempurna iman. Iman merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, tidak bertambah dan
tidak berkurang.
Menurut sekte ini, seseorang masih
diklaim beriman meskipun melakukan hal-hal yang membatalkan keimanan,
asalkan hatinya tidak meyakini kehalalan/kebolehan perbuatan tersebut.
Dengan kata lain, orang yang tidak melakukan kewajiban sama sekali,
masih diklaim sebagai seorang mukmin, selama hatinya masih meyakini
kewajiban perintah Allah tersebut. Misalnya: orang yang menghina Allah
atau menginjak-injak Al-Qur'an tidak divonis kafir, bila hati orang
tersebut tidak meyakini bahwa perbuatan tersebut
diperbolehkan/dihalalkan.
Salah satu di antara sepuluh ciri-ciri
kalangan yang terkontaminasi faham Murji’ah ini adalah meremehkan
penerapan Syari’at Allah, karena bagi mereka kumdandang azan, shalat dan
beberapa syi’ar Islam yang ada sudah cukup. Dengan faham ini, mereka
hobi menuduh kalangan yang berjuang menegakkan Syariat Islam dengan
label Khawarij, pemberontak, bahkan anjing neraka (kilabun nar).
Tidak berhukum dengan hukum Allah SWT
dianggap sama dengan dosa dan kemaksiatan lain (semisal minum khamr,
berzina dan mencuri) yang tidak mengeluarkannya dari Islam.
Dalam
perkembangannya, muncul Neo Murji’ah, yakni sekte kontemporer berjubah
Ahlussunnah tapi ajaran aqidahnya terkontaminasi kesesatan Murji’ah.
Kelompok ini kerap dijuluki “Salafi Maz’um.”
Persoalan tentang sekte Neo Murji’ah
dikemukakan secara detil oleh penulis pada bab III. Salah satu tokohnya
adalah Khalid Al-Anbari, seorang penulis kontemporer asal Mesir yang
menetap di Saudi. Komisi Fatwa Saudi (Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’)
telah memvonis Khalid Ambari sebagai salah satu tokoh Neo Murji’ah yang
sering berdusta atas nama ulama, tidak amanah dalam mengutip dalil,
sering mendistorsi dalil-dalil syar’i, dan berpendapat bahwa tidak
berhukum dengan hukum Allah itu tidak kafir. Terhadap bahaya pemikiran
Neo Murji’ah tersebut, Komisi Fatwa Saudi melarang keras peredaran salah
satu bukunya “Al-Hukmu Bighairi Ma Anzalallah Wa Ushulut Takfir” karena
mengajarkan faham Murji’ah.
Anehnya, tokoh Neo Murji’ah ini masih
menjadi rujukan kalangan Salafi Maz’un dalam berbahai kajian, tulisan
artikel maupun daurah di Indonesia.
Tokoh Neo Murji’ah lainnya adalah Syaikh
Ali Hasan yang juga telah divonis menyimpang oleh Komisi Fatwa Saudi
karena mazhabnya dalam masalah iman adalah mazhab Murji’ah yang
menyimpang dan batil. Kebatilan lainnya adalah mendistorsi dan berdusta
atas nama ulama dan meremehkan masalah meninggalkan hukum Allah.
Karenanya, salah satu bukunya “Fitnah at-Takfir” diharamkan, dan ia
diminta bertaubat, kembali kepada kebenaran dan belajar lagi kepada
ulama yang ilmu dan aqidahnya benar.
Untuk menangkis fatwa tersebut, para
pembela Syaikh Ali Hasan, termasuk para ustadz Salafi di Indonesia
menyebarkan artikel bahwa ulama senior Syaikh Utsaimin menyayangkan
sikap Komisi Fatwa. Di antaranya artikel Yazid bin Abdul Qadir Jawaz
berjudul “Hakikat Murji’ah Menurut Ahlussunnah, Hizbiyyun dan
Harakiyyun” dalam Majalah As-Sunnah (edisi 05/tahun XI/1428H/2007M, hlm 36-44)
Setelah diinvestigasi oleh para
masyayikh, di antaranya Syaikh Ihsan Al-Utaibi, terbukti bahwa Syaikh
Utsaimin tidak pernah mengeluarkan pernyataan itu. Dengan bijak Syaikh
Utsaimin membantah, “Jika anda tidak melihat tanda tangan dan tulisan
tanganku dalam permasalahan ini janganlah anda percaya.”
Dengan temuan ini, Syaikh Ihsan
Al-Utaibi menyimpulkan bahwa Syaikh Ali Hasan terbiasa melakukan plagiat
dan berbohong atas nama ulama besar: Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih
Fauzan, Syaikh Muhammad bin Hasan Alu Syaikh, Syaikh Albani.
Persoalan Neo Murji’ah semakin kompleks
karena para tokohnya juga memiliki dai dan pengikut di berbagai negara
yang memakai jubah Ahlussunnah. Namun sepandai-pandai membungkus faham
Murji’ah, namun identitas mereka tetap bisa dikenali dengan mudah.
Untuk mewaspadai sekte Neo Murji’ah,
penulis buku ini memaparkan sepuluh bahaya dan karakteristik Murji’ah
dalam kehidupan kontemporer, di antaranya: 1) Meremehkan pemberlakuan
syariat Islam, 2) Ceroboh dalam menentukan hakikat Ulil Amri, 3)
Memberikan peluang kepada sebagian kalangan yang hatinya berpenyakit
untuk meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan, 4) Tidak mau
mengkafirkan orang yang sudah jelas-jelas kafir dan memberikan loyalitas
bukan kepada kalangan beriman, 5) Mudah memvonis bid’ah, 6) Meremehkan
urusan-urusan dan amal-amal besar dalam Islam, 7) Meremehkan urusan
shalat, 8) Meremehkan urusan jihad, 9) Menyatakan tidak ada jihad, yang
ada hanyalah hijrah, dan 10) Rumah tangga suami-istri berantakan.
Sebagai solusi agar tidak terjebak
berbagai faham sesat dan menyimpang, termasuk Neo Murji’ah, penulis
menutup buku ini dengan lima tips menghindari faham yang menyimpang,
antara lain: 1) Menuntut ilmu yang benar dengan ikhlas, 2) Memasukkan
anak ke sekolah atau pesantren yang pemahamannya benar, 3) Belajar
kepada guru yang lurus pemahamannya, 4) Tidak berteman maupun
berinteraksi dengan orang yang fahamnya menyimpang, 5) Jangan menikah
dan mengambil menantu atau mertua dengan kalangan berfaham menyimpang.
Buku ini layak dibaca oleh semua
kalangan. Meski strukturnya disusun secara sederhana, namun lengkap
dengan literatur yang bisa dilihat pada catatan kaki. Sayangnya,
penjelasan tentang “Neo Murji’ah” dan “Salafi Maz’un” tidak dijelaskan
secara detil definisi, hakikat dan asal-usulnya dalam buku ini, padahal
istilah ini masih asing di masyarakat. [VOA-ISLAM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar